Pengamat: Poso akan Terus Bergejolak

Isu teror terkait perayaan natal dituding sebagai permainan dari intelijen Indonesia.

Wilayah Poso, Sulawesi Selatan, kembali bergejolak pascatemuan satu paket bom berdaya ledak tinggi. Jadi, meski kepolisian menyatakan seluruh daerah di Indonesia dinyatakan aman, tidak bagi Poso.

Pengamat teroris Noor Huda Ismail menyatakan, ke depannya, wilayah Poso masih akan terus bergejolak, dengan serentetan aksi teror. Kondisi tersebut tidak bisa dielakkan, karena sejarah Poso terdahulu.

“Masalah Poso itu bagian dari sejarah. Harus diingat peristiwa 2007, dimana dilakukan pembersihan oleh kepolisian, yang dilakukan secara represif. Polisi menghabisi para pemimpin mereka, di mana yang saat ini yang bermain, pada saat itu merekam apa tindakan yang dilakukan terhadap pemimpinnya,” katanya di Semarang.

Noor Huda menyatakan, mereka yang kini berkutat dan bermain dengan serangkaian aksi teror, merupakan rekrutan baru dari kelompok lama, yaitu kelompok Santoso dan kawan-kawan.

Mereka, menurut Noor Huda, termasuk pecahan kelompok jaringan Santoso cs yang tidak berhasil terintegrasi. Santoso cs sendiri dulunya merupakan anggota Jamaah Islamiyah, kemudian bergabung di Jamaah Anshorud Tauhid, tapi tidak diakui sehingga Santoso bergerak sendiri.

“Tujuan mereka untuk balas dendam teman-teman mereka yang ditembak, disikat habis oleh polisi. Arahnya ke polisi. Saat itu pembersihan dilakukan dalam rangka mengungkap pelaku pembunuhan tiga anak sekolah, saat bulan puasa,” tambahnya.

Diduga permainan intelijen

Disinggung adanya isu yang mencoba disebar, tentang adanya ancaman teror yang akan dilakukan oleh beberapa orang, pada malam perayaan natal, Noor Huda yang juga petinggi Yayasan Prasasti Perdamaian mengatakan secara tegas bahwa itu merupakan permainan dari pihak intelijen Indonesia.

“Tren kelompok sekarang ini, tidak ada satu komando yang kuat seperti era Imam Samudra. Yang ada anak-anak kecil yang kuat, dengan semangat kuat dan besar. Tapi kemampuan mereka standard. Yang justru dikhawatirkan mereka bangkit, karena kerap dipojokkan oleh institusi kepolisian, dan selalu dikait-kaitkan dengan serangkaian aksi teror yang muncul ke permukaan,” tukasnya.

Disinggung adanya by design dari polisi atas serangkaian aksi teror yang terjadi, Noor Huda mengakui bahwa hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak kepolisian, juga termasuk dilakukan oleh institusi keamanan lainnya, seperti BIN dan BAIS.

“Radikalisasi yang terjadi murni terjadi atau murni dibuat, saya tidak mengetahuinya. Tapi yang jelas, radikalisasi menjadi hal yang supersensitif, dan menjadi komoditas institusi keamanan negara, karena menjadi lahan garap. Masyarakat dunia pun mengapresiasi tinggi keberhasilan polisi Indonesia dalam penanganan teroris, namun tidak untuk kasus internal, seperti korupsi, penindakan anggota, salah tangkap, dan lain-lain. Hanya teroris, di teroris mereka moncer,” tutupnya.

Sumber: www.beritasatu.com

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved