Alasan-Alasan Mengapa Teroris Keluar dari Kelompoknya

Tidak sedikit orang Indonesia bergabung dengan kelompok teror, tetapi juga banyak dari mereka yang kemudian memilih keluar. Alasan-alasan mengapa banyak jihadis keluar dari sel-sel teroris ini menjadi perhatian Julie Chernov Hwang, Associate Professor bidang Political Science and International Relations di Goucher College, Maryland, Amerika Serikat.

Julie Chernov yang selama enam tahun mewawancarai lebih dari seratus warga negara Indonesia mantan pemimpin dan pengikut kelompok Islam radikal untuk mengetahui mengenai proses disengagement atau keterlepasan orang-orang dari kelompok lamanya (dalam hal ini kelompok teror). Ternyata proses ini terjadi karena alasan yang berbeda-beda.

Hal tersebut disampaikan Julie Chernov dalam diskusi bedah buku terbarunya Why Terrorists Quit: The Disengagement of Indonesia Jihadist (2018)  di kantor Yayasan Prasasti Perdamaian, Tebet, Jakarta Selatan.

Disengagement merupakan suatu keadaan seseorang memilih keluar dari kelompok tempatnya bergabung. Disengagement terjadi secara bertahap,” papar Julie Chernov yang juga penulis Peaceful Islamist Mobilization in Muslim World (2009), buku yang meneliti ragam gerakan kelompok Islamis di Asia dan Timur Tengah, termasuk Indonesia, yang dilakukan secara damai mengikuti mekanisme demokrasi.

Namun begitu, sambung Julie Chernov, disengagement ini bukan berarti setiap orang yang memilih untuk meninggalkan jaringan ekstremis sama sekali tidak melakukan interaksi dengan kelompoknya lagi. Mereka masih ada yang tetap melakukan interaksi dan menjaga hubungan dengan kelompok atau jaringan-jaringan teroris.

Sementara, faktor- faktor yang mendasari para jihadis memilih keluar dari kelompok teroris yang menghalalkan kekerasan dan berideologi ekstrem: alasan keluarga atau lingkungan yang mendukung mereka untuk berhenti, kekecewaan terhadap kelompoknya, menimbang untung dan rugi tetap berada di kelompok tersebut, dan perubahan prioritas dirinya. Ketika para jihadis keluar dari kelompok radikal, menurut Julie Chernov, harus ada upaya-upaya dari pemerintah maupun masyarakat untuk menguatkan mereka agar tidak kembali masuk dalam kelompok-kelompok ekstremis, sebaliknya menerima dan mengajak mereka menjalani kehidupan bermasyarakat secara baik.

Maka dari itu, berdasarkan pengalamannya menguji sejauh mana alasan masing-masing jihadis memilih keluar dari kelompok seperti Jemaah Islamiyah, Mujahidin KOMPAK, Ring Banten, Laskar Jihad dan Tanah Runtuh, ia pun merekomendasikan pemerintah agar membuat kebijakan-kebijakan yang menyediakan pengembangan keahlian profesional atau memfokuskan lifeskills training untuk mereka, membangun hubungan dengan anggota-anggota jaringan yang masih ditarget, serta konseling untuk memperbaiki hubungan mereka dengan keluarganya. Ini penting ditempuh dengan tujuan agar mereka bisa benar-benar memahami bahwa setiap langkah yang diambil tidak selalu dengan jalan kekerasan.

“Seseorang yang memilih keluar dari kelompok kekerasan ini tidak langsung berubah menjadi baik,” ujar Julie Chernov.

Sementara itu di kesempatan yang sama Taufik Andrie, Direktur Eksekutif YPP menyebutkan bahwa sejauh ini proses disengagement masih belum dilakukan secara maksimal. Usaha yang lebih baik dan serius harus dilakukan baik itu oleh Pemerintah atau lembaga lain non-pemerintah agar disengagement ini bisa lebih efektif.

“Pemerintah Indonesia sudah bagus sejauh ini tetapi juga harus lebih aktif lagi dalam melakukan ini. Harus dicari tipe yang lebih efektif sehingga proses ini bisa berjalan dengan optimal,” terang Taufik.

 

Sumber

Leave a comment



Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved