Indonesia tangkap terduga militan HASMI

Pasukan anti terorisme di Indonesia telah menangkap tiga pria di Jawa Tengah yang diduga menyimpan bahan peledak untuk Abu Hanifah, pemimpin Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (HASMI).

Para pria itu, yang diidentifikasi sebagai Winduro bin Nur Hadi, 28 tahun, Feri Susanto, 23 tahun, dan Bambang Kurmanto, 45 tahun, ditangkap pada tanggal 6 dan 7 Desember di desa Sroyo, Kabupaten Karanganyar.

“Mereka ditangkap karena dicurigai menyimpan bahan kimia dan bubuk peledak untuk terduga Abu Hanifah,” Agus Rianto, juru bicara Polri, berkata kepada wartawan di Jakarta pada tanggal 7 Desember.

Polisi dilaporkan telah menemukan serbuk hitam yang diduga merupakan bahan pembuat bom, tiga koktail Molotov, dan senter di rumah Feri.

Penangkapan itu terjadi setelah operasi penanggulangan terorisme di seluruh Jawa pada akhir bulan Oktober yang menangkap 11 anggota HASMI, termasuk Abu Hanifah, juga bom rakitan, bahan peledak, amunisi, dan panduan pembuatan bom.

Jaringan itu merencanakan serangan terhadap misi diplomatik AS di Surabaya dan Jakarta, sebuah gedung di Jakarta yang merupakan kantor perusahaan tambang raksasa Freeport-McMoRan, dan fasilitas polisi di Jawa Tengah, menurut polisi.

Kamp pelatihan teroris di Jawa

HASMI terbentuk dari Tim Hisbah, yaitu jaringan yang melakukan pemboman bunuh diri baru-baru ini di Cirebon dan Solo, dan berakar dari kelompok Islam era 1950-an yaitu Darul Islam, menurut Al Chaidar, seorang pakar terorisme dari Universitas Malikussaleh di Aceh, kepada Khabar Southeast Asia.

“Abu Hanifah memulihkan organisasi Tim Hisbah setelah kematian Sigit Qurdowi, ketua Tim Hisbah,” Chaidar berkata.

“Dia merekrut anggota baru yang bukan anggota Jemaah Islamiyah,” jelasnya. “Tidak seperti banyak kelompok teroris yang terkait dengan Jemaah Islamiyah, jaringan Hanifah berhubungan dengan Darul Islam, yang muncul pada tahun 1950-an pada saat pemberontak berusaha membentuk negara Islam.”

Sasaran utamanya, menurut Chaidar, adalah pemerintah Indonesia, yang menghalangi upayanya dalam membentuk negara Islam.

Setelah penangkapan pada bulan Oktober, polisi menemukan bahwa jaringan Abu Hanifah telah melakukan pelatihan paramiliter di Gunung Wilis, Madiun – tidak seperti kelompok militan lain yang mendirikan kamp pelatihan di daerah rawan konflik di luar Jawa, seperti Aceh dan Poso.

“Jaringan teroris yang mendirikan kamp pelatihan paramiliter di Jawa bukanlah hal baru, karena Darul Islam telah bertahun-tahun melakukannya, seperti di Serang, Banten, dan juga Parangtritis, Yogyakarta,” Noor Huda Ismail, direktur pelaksana Yayasan Prasasti Perdamaian, berkata kepada Khabar.

Winduro bin Nur Hadi, salah satu pria yang ditangkap pada tanggal 6 Desember, dicurigai telah berlatih di Gunung Wilis dengan Abu Hanifah, ujar juru bicara Polri, Boy Rafli Amar, kepada wartawan saat berkunjung ke Lombok, menurut Liputan6.

“Jaringan Hanifah terdiri dari sekitar 70 anggota. Sampai sekarang, polisi telah menangkap sekitar 33 dari mereka,” jelas Chaidar.

Militan di antara mereka

Warga desa tempat terjadinya penangkapan mengaku kaget.

Seorang saksi, Yudi, berkata bahwa Winduro adalah orang yang ramah yang bekerja sebagai tukang sampah. “Tidak ada yang aneh dengan kehadirannya di antara warga. Dia tampak normal dan bekerja keras,” kata Yudi.

Warga setempat Samardi Sastro mengutarakan rasa tidak percaya bahwa kaum muda setempat dari desa kecil seperti Sroyo bisa dradikalisasi.

“Mungkin anak-anak muda bisa diradikalisasi setelah meninggalkan desa kami. Tetapi seperti saya saksikan di sini, tidak ada ajaran radikal atau perilaku mencurigakan di sekitar lingkungan,” ungkapnya.

Seorang mantan peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yonaye Odriana, berkata bahwa radikalisasi bisa terjadi di mana saja.

“Kaum muda bisa diradikalisasi dengan banyak cara, lewat ajaran, belajar, dan/atau dengan Internet,” kata Yonaye kepada Khabar lewat telepon dari rumahnya di Yogyakarta.

“Kasus ini merupakan bukti tambahan bahwa daerah kecil bisa menjadi tempat yang baik untuk menumbuhkan radikalisme,” katanya mengenai penangkapan di Karanganyar. “Oleh karena itu, pengawasan lingkungan harus meningkatkan perannya untuk memantau komunitas secara cermat.”

“Sementara itu, ajaran yang baik akan perdamaian, toleransi, dan kerukunan berdasarkan Al-Qur’an akan membantu kaum muda Indonesia memeluk nilai-nilai ini,” ujarnya.

Yenny Herawati di Karanganyar, Jawa Tengah, menyumbang atas laporan ini

Sumber: www.khabarsoutheastasia.com

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved