Newsletter Desember 2012

Teroris dalam Media Jihad Online

By Aditya Megantara

Dalam beberapa media online sering kali digunakan label ‘mujahid’ terhadap mereka yang ditangkap dan diduga sebagai teroris. Mengapa dibutuhkan teks ‘mujahid’ dan konteks apa yang melatar belakanginya?

Berita-berita mengenai teror di Solo beberapa bulan lalu bermula dari peristiwa penembakan di Pos Pengamanan (Pospam) Lebaran, Gemblegan, Solo. Peristiwa ini terjadi pada 17 Agustus 2012, dimana dua orang menaiki sepeda motor dengan berboncengan mengarahkan tembakan pada polisi yang sedang berjaga di Pos Pospam tersebut. Penembakan tersebut menyebabkan dua polisi, Brigadir Kukuh Budiyanto dan Bripka Endro Mardiyanto terluka dan harus dirawat intensif di rumah sakit.

Peristiwa kedua terjadi keesokan harinya, yaitu ledakan di Pospam Gladak Jalan Jenderal Sudirman, Kota Solo pada Sabtu 18 Agustus 2012. Ledakan ini berasal dari granat yang dilempar oleh orang yang tak dikenal mengendarai sebuah sepeda motor dengan berboncengan. Peristiwa ini tidak menimbulkan korban jiwa, namun mengakibatkan sejumlah kursi di Pospam Gladak rusak.

Selang 12 hari dari peristiwa pelemparan granat di Pospam Gladak, kembali teror ketiga terjadi. Kali ini di pusat keramaian di Singosaren Plasa, Jalan Rajiman, Solo. Bermula dari dua orang yang berboncengan sepeda motor datang ke tempat kejadian, si pembonceng kemudian berjalan menuju Pos Polisi Plaza Singosaren dan menembakkan senjatanya lalu kabur meninggalkan lokasi tersebut. Seorang petugas polisi bernama Bripka Dwi Data tewas akibat empat peluru yang menembus tubuhnya. Dua peluru menembus dada, dua lainnya menembus tangan.

Pada tanggal 31 Agustus 2012 malam, terjadi baku tembak di Jalan Veteran, Solo, yang memakan 3 korban jiwa. Peristiwa ini merupakan klimaks dari rangkaian kejadian sebelumnya. Pasalnya 2 dari 3 korban jiwa tersebut adalah pelaku utama dari rangkaian peristiwa teror ini dan 1 jenazah lainnya adalah anggota Densus 88. Kedua orang teroris yang tewas tersebut bernama Farhan dan Muchsin. Selain itu, Densus juga berhasil menangkap hidup-hidup seorang teroris bernama Bayu.

Setelah peristiwa baku tembak ini, media masa ramai membicarakan Farhan dan Muchsin. Mereka berlomba menampilkan berita paling baru dan membahas lebih dalam hal-hal yang terkait dengan keduanya. Semua media massa umum sepakat bahwa Farhan dan Muchsin merupakan penjahat yang disebut sebagai teroris. Namun penyebutan tersebut tidak berlaku pada situs-situs berita online yang mengedepankan jihad seperti arrahmah.com dan voa-islam.com.
Pada arrahmah.com misalnya, pemberitaan seputar Farhan dan Muchsin ini tidak pernah menyebut mereka sebagai teroris secara langsung. Jikapun ada, penyebutan teroris tersebut merupakan hasil penulisan ulang yang diambil dari sumber berita lain. Hal itu terlihat dari kesamaan kalimatnya dengan berita yang telah diterbitkan oleh media massa umum lainnya.

Dalam beberapa penulisan ulangnya, terlihat jelas ketidaksediaan arahmah.com menyebut Farhan dan Muchsin sebagai teroris. Seperti dalam berita berjudul “Foto jenazah dua mujahid korban penembakan Densus 88 di Solo” yang diterbitkan pada 2 September 2012. Di sana terdapat penyuntingan (editing) pada kata “teroris” yang diubah menjadi “mujahid”. Kata tersebut terletak dalam paragraf pertama, yang kalimat lengkapnya berbunyi:
“…Identitas dua terduga mujahid yang tertembak mati dalam operasi penangkapan yang digelar Densus 88/Antiteror Mabes Polri di Desa Tipes, Kecamatan Serengan, Solo atau tepatnya di Jalan Veteran, di sebelah Hipermarket Lotte Mart pada Jumat malam (31/8) akhirnya diumumkan polisi.”

Penyuntingan ini sangat terlihat dikarenakan adanya kata “terduga” yang biasanya tidak melekat pada awal kata “mujahid”.

Penyebutan Farhan dan Muchsin sebagai mujahid pun lebih sering diungkapkan oleh voa-islam.com. Dari beberapa berita mengenai peristiwa tersebut yang diterbitkannya, tidak satu pun menyebut keduanya sebagai teroris. Bahkan voa-islam.com menampilkan berita yang lebih berbeda dari media umum lainnya untuk meyakinkan para pembacanya. Pada dasarnya isi berita-beritanya menyatakan bahwa kedua pelaku tersebut adalah mujahid yang tewas dalam keadaan syahid.
Pernyataan itu sangat lugas diungkapkan dalam salah satu beritanya yang berjudul “Isyarat Syahid Jenazah Muchsin, Darah Menetes Membasahi Kain Kafan”. Dalam berita itu tertulis bahwa ada sebuah tanda syahid terlihat dari jenazah Muchsin yang masih terus menetes darah segar dari bagian kepalanya, hal yang dianggap tidak pernah terjadi pada jasab berumur satu minggu.

Tidak hanya Muchsin, Farhan pun juga diyakini tewas dalam keadaan syahid. Keyakinan tersebut diungkapkan oleh voa-islam.com dalam beritanya yang berjudul “Ibu Tiri Farhan Ungkap Tanda Syahid & 19 Lubang Peluru di Jasad Farhan”, dimana tertulis bahwa Endang, ibu tiri Farhan, mengaku mencium bau wangi di rumahnya yang belum pernah ia alami sebelumnya. Wangi tersebut diyakini sebagai tanda ke-syahid-an Farhan yang tewas ditangan Densus 88. 19 peluru yang melubangi tubuhnya digambarkan sebagai bukti dari jihad memerangi Densus 88 yang dianggap sebagai musuh Islam.
Dari pemberitaan kedua website tersebut dapat dilihat adanya upaya framing untuk mengkonstruksikan sebuah realitas baru bagi pembaca setianya. Realitas ini dibentuk berdasarkan penyeleksian isu dan aspek-aspek tertentu dari isu tersebut. Pertama, rangkaian peristiwa teror di Solo yang dilakukan Farhan dan Muchsin dicitrakan bukan sebagai kasus hukum dan kriminal, melainkan sebuah aksi kepahlawanan. Aksi kedua orang tersebut digambarkan sebagai bentuk tindakan memerangi sesuatu yang mereka imajinasikan sebagai musuh keyakinan mereka. Densus 88 atau pihak Kepolisian bagi mereka dianggap sebagai musuh Islam karena telah menjadi suruhan Amerika untuk menangkap dan membunuh orang-orang seperti mereka. Kedua, dalam peristiwa ini Farhan dan Muchsin dikatakan sebagai ‘mujahid’ yang mati syahid karena wafat dalam tugas menegakkan hukum Islam dengan berperang melawan musuh Islam. Ketiga, Farhan dan Muchsin ditampilkan sebagai sosok remaja yang taat menjalankan ibadah, berbakti kepada Agama dan senantiasa menegakkan hukum Islam.
Keempat, penggantian kata ‘teroris’ menjadi ‘mujahid’ yang makna harfiahnya adalah ‘pejuang keadilan’, menunjukkan bahwa kedua situs berita ini berusaha melakukan pembenaran terhadap apa yang dilakukan Farhan dan Muchsin. Berita-berita mengenai tanda-tanda ke-syahid-an pada kematian mereka, menunjukkan pula bahwa kedua situs tersebut ingin meyakinkan para pembaca bahwa aksi membunuh polisi merupakan hal yang diyakini benar. Kebenaran tersebut seolah-olah mutlak karena telah ada pembuktian pada jasad Farhan dan Muchsin.

Usaha ‘re-framing’ aksi Farhan dan Muchsin yang terus menerus ini menghasilkan sebuah penyatuan identitas ‘us’ atau ‘kami’ untuk entitas situs dan Farhan serta Muchsin. Identitas ‘us’ ini kemudian dapat diinternalisasi oleh remaja lain yang menidentifikasi dirinya sebagai bagian dari ‘us’ tersebut. Pada akhirnya bisa saja bermunculan generasi baru Farhan/Muchsin yang meneruskan apa yang mereka percayai sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk diperjuangkan.
Beberapa pihak mungkin akan mengatakan bahwa hal sosial yang terjadi setelah sebuah pemberitaan bukanlah akibat sepenuhnya dari pemberitaan tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa rangkaian kata dalam sebuah tulisan memiliki kemampuan ‘visual’ yang sama dengan gambar dalam mengekspresikan sebuah gagasan. Pencitraan gagasan, dengan penggunaan kata ‘teroris’ dan ‘mujahid’, tentu saja akan memberikan nuansa tersendiri dalam perubahan sosial di masyarakat. Penulis hendaknya dapat cukup bijak dalam memilih kata tanpa harus mengaburkan kejadian-kejadian sebenarnya, sehingga hal tersebut kemudian tidak menjadikan lahirnya sebuah masalah ataupun kekerasan baru.

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved