Misteri Teror Sel Hasmi

Jakarta, GATRAnews – Polisi menangkap jaringan terduga teroris di empat kawasan: Madiun, Solo, Bogor, dan Jakarta. Tercatat kelompok baru bernama Hasmi. Mirip nama Hasmi Bogor, tapi terklarifikasi berbeda. Kembali membidik simbol Amerika. Ditaksir terkait polemik film penista Nabi. —

Halaman belakang rumah seluas 300 meteran persegi itu mirip arena outbond. Ada bambu tiga meter dibuat titian. Palang besi mirip tangga untuk gelantungan. Tiga barbel dari kaleng bekas berisi semen. Tersedia pula sansak pukulan, mirip orang-orangan kayu, seperti dalam film kungfu. Alamatnya, Jalan Lawu Timur IV, Marengan, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah.

Rumah itu sekaligus dipakai Musala Attaqwa. Ada tiga ruang lagi buat tempat tinggal. Satu ruang ditempati pasangan Bakhrun, 70-an tahun, dan istrinya, yang minta dipanggil Bu Bakhrun. Selasa pagi lalu, Pak Bakhrun tergolek tiduran di lantai. Ia terkena stroke, kanker prostat, kesulitan bicara, dan tak bisa medengar. Bu Bakhrun setia merawatnya.

Mustaqbilal alias Mustofa atau Abu Hanifah, putra keempat Bakhrun, dikabarkan kerap melatih warga dan pemuda soal ketangkasan fisik di halaman belakang rumah itu. Malah ada yang menyebut latihan perang. Kabar ini berkembang setelah Mustofa, Sabtu pagi 26 Oktober lalu, sehari setelah hari raya kurban, ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri dan diduga sebagai pimpinan kelompok teroris. Umurnya baru 27 tahun.

“Mereka semua jaringan Hasmi. Ini jaringan baru,” kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Suhardi Alius, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Sabtu petang pekan lalu. “Abu Hanifah ini pimpinan Hasmi.” Hasmi singkatan Harakah Sunny untuk Masyarakat Indonesia.

Soal kiprah anaknya, Bu Bakhrun hanya mengulang-ulang jawaban, “Mboten ngertos nopo-nopo (tidak tahu apa-apa).” Ia lebih banyak bercerita tentang suaminya, termasuk saat tahu Mustofa ditangkap. “Sampai nangis-nangis,” kata dia.

Halaman belakang rumahnya, kata Bu Bakhrun, hanya untuk olahraga. Siapa pun boleh. Tak ada waktu khusus. “Nggih macem-macem (yang pakai), kanggih olahraga,” ujarnya. Warga sekitar memanggil Mustofa dengan Ustad Mus, termasuk Giyono, 50 tahun. Perajin sangkar burung ini kerap menunaikan salat di Musala Attaqwa. Warga lain juga biasa saja melaksanakan salat di sana.

Penampilan Giyono biasa. Tak ada identitas keagamaan tipikal Islam radikal. Rumahnya sekitar 10 meter dari musala. Persis di depan rumahnya, ada rumah lagi miliknya yang dikontrakkan kepada kenalan Mustofa. Enam bulan silam, usai salat berjamaah, Ustad Mus memanggil Giyono. “Ada yang mau cari kontrakan, kasihan, anaknya dua,” kata Giyono kepada GATRA menirukan Mus.

Keluarga itu dikenalkan berasal dari desa sebelah: Malabar, Mojosongo. Namanya sempat disebut Ahmad, lalu dipanggil Ari, tapi kemudian versi polisi: Harun Nur Rosyid. Giyono manut saja pada ustad yang menurutnya ia hormati karena ilmu agamnya lebih tinggi lantaran lulusan perguruan tinggi agama dan ayahnya, Bakhrun, pensiunan pegawai Departemen Agama.

Dari rumah Giyono yang dikontrak Harun seharga Rp 1,8 juta per tahun itu, polisi menemukan bahan peledak. Sejak menempati rumah itu, Harun belum menyerahkan kartu identitas. Menurut Giyono, Harun buka usaha laundry. “Keluar rumah cuma buat anter laundry,” tuturnya.

Harun juga buka usaha penjualan ban dan reparasi kompor gas di pinggir Jalan Sumpah Pemuda, Mojosongo, satu kilometer dari rumah kontrakannya. Di bengkel ini, polisi menemukan 10 kilogram bubuk urea, lima pipa pralon, belerang 5 kilogram, dan bubuk hitam yang diduga bahan peledak. Kepada media di Solo, Kapolrestas Solo, Asdjimain, menyatakan bahwa daya ledak bom rakitan di rumah Harun dua kali dari daya ledak bom Bali II, 2005.

Menurut Samiran, 60 tahun, pedagang sayur di sebelah bengkel Harun, bengkel itu dibuka sejak empat tahun silam. Pengelolanya ayah Harun, Warso. Beberapa bulan lalu, Harun baru buka usaha penjualan ban. Harun kerap bermalam di bengkel itu. Truk kontainer kerap mengantar ban.

“Lumayan ramai, tiga hari bannya sudah habis,” ujar Samiran. Pembelinya macam-macam. Tapi Harun kerap kedatangan tamu khusus: tiga-empat orang berbusana gamis, celana cingkrang. Biasanya mereka pergi bersama. Samiran bilang, tak ada kegiatan “aneh” di bengkel itu.

Soal latihan fisik di belakang rumah Mustofa, Giyono tahu. “Kadang digunakan sore hari dan tidak sembunyi-sembunyi,” katanya. Yang jelas, kata Giyono, ada jamaah khusus di Musala Attaqwa dengan penampilan mirip Ustad Mus: bergamis dan celana cingkrang. Jumlahnya 30-40 orang dari luar kampung. Waktu kumpulnya tidak tentu.

Mustofa dikabarkan pernah aktif dalam aksi razia minumah keras (miras). Kepala Satreskrim Polres Solo, Kompol Eddy Sitepu, membenarkan kepada GATRA bahwa Mustofa pernah terlibat aksi sweeping miras di beberapa kawasan Solo. Namun, soal keterkaitan dengan kelompok lain itu, termasuk dengan Tim Hisbah Solo, pimpinan Sigit Qurdowi, ia berkata normatif, “Masih penyelidikan.”

Sigit Qurdowi tewas dalam sergapan polisi, Mei 2011. Sigit sebelumnya juga aktivis razia miras, lalu belajar merakit bom kepada Tim Ightiyalat Klaten, pimpinan Roki Aprisdianto, yang belajar bom kepada Soghir, murid Dr. Azahari, perakit bom Bali I, 2002. Sigit menjadi pelatih Tim Ashabul Kahfi Cirebon yang terlibat bom Masjid Polresta Cirebon, April 2011.

***

Terduga teroris simpul Solo terungkap setelah polisi membekuk simpul Madiun. Jumat 26 Oktober, pukul 23.00, polisi menangkap Agus Anton Figian, 32 tahun, warga Sewulan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun. Sosok Agus terhitung unik untuk ukuran terduga teroris. Sarjana fisika lulusan Universitas Negeri Jember (Unej) tahun 2004 ini punya jaringan luas karena mengembangkan usaha mertuanya: dagang mebel kayu jati.

Agus bahkan punya relasi baik dengan aparat pemerintah setempat, termasuk anggota Polsek dan Koramil Dagangan. Seorang polisi yang tak mau disebut namanya menyatakan, bila perlu kayu, para polisi kerap datang ke Agus. “Agus pernah bantu memberikan kayu untuk perbaikan musala di polsek,” katanya.

Bahkan, dua hari sebelum penangkapan, Agus sempat minta tolong kepada seorang polisi Polsek Dagangan agar dicarikan pembeli mobilnya. Hubungan baik ini, kata polisi itu, sudah terjalin lama. Agus berasal dari Jember. Sejak kuliah tahun ketiga, 2001, ia sudah menikahi Rahayu Ningsih, teman kuliah beda fakultas di Unej. Setelah lulus, sejak 2005 ia tinggal di Madiun.

Dengan sosok model ini, banyak orang yang kenal Agus tak percaya ia terkait terorisme. Menurut Sugiono, tetangga dekatnya, Agus adalah sosok santun, dermawan, dan pengusaha mebel sukses. Dalam renovasi masjid kampung itu, Agus banyak membantu. “Untuk urusan kayu dan tukang, dia yang nanggung,” tuturnya. Ketua RT setempat, Muhtar, juga mengakui. “Saya dan semua warga tidak percaya dia masuk jaringan teroris,” ujarnya. “Istrinya guru TPQ di masjid.”

Di bawah rumah Agus, polisi menemukan bungker. Informasi ini menambah genting cerita. Tapi, menurut kabar warga sekitar, bungker itu ada sejak zaman mertua Agus membangun rumah. Basement untuk bersantai. Pertalian Agus dengan aksi teror justru terjadi di rumah yang dikontrak Agus di Madiun Kota, persisnya di Perumahan Puri Amarta, Jalan Cokrobasonto, Josenan, Kecamatan Taman.

Polisi menangkap Warso alias Kurniawan, 29 tahun, di rumah kontrakan itu. Ditemukan enam detonator dan dua bom rakitan. Tiga orang berhasil kabur. Dari Madiun, esok paginya, polisi bergerak serentak ke Solo, Bogor, dan Jakarta. Di Bogor, polisi menangkap tiga orang yang perannya belum jelas.

Emirat Berlian, 22 tahun, dan Zainuddin, 24 tahun, ditangkap di Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Usman ditangkap di Cikaret, Kota Bogor. Polisi menemukan bahan bom, amunisi berbagai kaliber, dan detonator.
Di Jakarta, Sabtu itu juga, polisi menangkap kakak beradik, Suherman, 22 tahun, dan Davit Ashari, 19 tahun, di Gang Haji Kimin, Palmerah, Jakarta Barat. Ketika GATRA berkunjung ke lokasi, Selasa lalu, pada rumah bercat biru yang dikelilingi garis polisi itu terlihat stiker “Tegakkan Syariat” di kaca jendela. Menurut Dewi, tetangga kakak beradik itu, penangkapan berlangsung di tengah hujan lebat.

Dewi tidak menyangka dua anak yang dikenalnya sejak kecil itu terlibat terorisme. “Mereka pergaulannya di sini-sini saja, sama kayak anak-anak lain,” katanya. “Kalau pengajian juga paling ikut pengajian kampung, sama kayak anak saya,” ia menambahkan. Davit dikenal rajin menunaikan salat berjamaah di musala dekat rumahnya. Pergaulan siswa kelas 3 SMK Pelayaran Tri Arga Kebon Jeruk ini dinilai biasa. “Paling juga nongkrong sama anak lain. Kalau salatnya biasanya tepat waktu,” tuturnya.

Lain lagi dengan terduga teroris ketiga di Jakarta yang ditangkap polisi. Namanya Sunarto Sofyan, 39 tahun, karyawan perusahaan ekspedisi. Sarjana ekonomi dari universitas swasta di Yogyakarta ini ditangkap di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ketika hendak mengantarkan daging kurban. “Saya dan Nanto (panggilan Sunarto) memang jadi panitia kurban,” kata kembarannya, Sunardi Sofyan, kepada GATRA di rumahnya, Kebon Kacang, Tanah Abang.

Polisi membawa tas berisi laptop dan obat asma milik Sunarto serta dua kardus buku-buku dagangan Sunarto. “Dia juga jual buku-buku agama yang umum beredar di pasaran,” kata Sunardi. Menurut Sunardi, Narto tidak memiliki gelagat seorang teroris, tidak pernah terlibat organisasi keagamaan apa pun. Kondisi fisik dan kesehatan Narto tidak mendukung. “Dia punya asma sama vertigo, gimana mau jadi teroris,” katanya.

Sunarto kenal kakak beradik Davit dan Suherman. “Mereka tetangga di Palmerah. Herman yang nggak punya kerjaan diajak jualan buku sama Narto,” ungkap Sunardi. “Katanya ada satu lagi yang ditangkap, namanya Basir, tapi saya lihat polisi nggak pernah sebut,” katanya.

***

Sosok misterius Basir juga diceritakan ibunda Herman dan Davit, Siti Miriam, kepada Achmad Michdan, Tim Pengacara Muslim. Kedua anaknya mengenal Basir melalui jejaring sosial. Basir berasal dari Surabaya. Pemuda itu pernah menginap di rumah Davit karena mendapat pekerjaan di Bekasi. Basir hanya membawa satu tas pakaian. Ia juga ikut kegiatan kurban dekat rumah Davit.

“Terakhir ketemu Basir waktu menginap di rumah saya, malam takbiran sama malam Sabtu. Jadi, yang ditangkap (Densus) di rumah saya ini ada tiga. Tapi nama Basir tidak muncul,” ujar Miriam. Michdan minta Densus membuka identitas Basir. Ia curiga, Basir adalah intel yang disusupkan polisi untuk mendiskreditkan umat Islam.

Jika itu memang teknik intelijen disengaja, kata Michdan, Polri dan Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) sengaja menciptakan teroris. “Orang-orang ditangkap untuk dijadikan korban tersangka teroris,” katanya. “Basir sengaja disusupkan ke tengah generasi muda muslim.” Michdan minta penanganan terorisme dilakukan secara transparan dengan melibatkan banyak pihak.

Terduga teroris di Jakarta itu, lanjut Michdan, tidak pernah ikut Hasmi. Aktivitas mereka banyak di rumah, selain harus bersekolah. Selama 10 tahun ini, Michdan tak pernah mendengar soal Hasmi. Beberapa pemerhati terorisme yang dikontak GATRA juga belum pernah mendengar sosok Hasmi dalam kaitan terorisme.
“Itu belum ada dalam catatan riset saya,” kata Wildan, doktor muda periset terorisme dari UIN Yogyakarta yang alumnus Pesantren Ngruki. “Saya belum pernah dengar, Mas,” kata peneliti terorisme dari STAIN Salatiga, Zakiyuddin Baidhawi. Begitu pula komentar Noor Huda Ismail, analis terorisme yang juga alumnus Ngruki.

Ketua DPP Hasmi yang bermarkas di Bogor, Muhammad Sarbini, Senin lalu memberi klrarifikasi ke Mabes Polri bahwa organisasi mereka tak terlibat terorisme. Hasmi Bogor singkatan dari Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islam, sedangkan Hasmi Solo adalah Harakah Sunny untuk Masyarakat Indonesia. “Jadi, berbeda, tidak berkaitan,” ujar Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Boy Rafli Amar, kepada Jennar Kiansantang dari GATRA.

Boy Rafli menegaskan, upaya pengungkapan aktivitas teror tidak didasarkan pada nama kelompok. Menurut dia, persoalan nama justru mengaburkan proses pengungkapan kasus. Bukan mustahil, nama kelompok tertentu digunakan sebagai kedok. “Ini bisa menyesatkan dengan memanfatkan (identitas) orang lain untuk tujuan tertentu,” kata Boy. Karena itu, polisi fokus pada aspek rencana dan tindakan 11 orang yang ditangkap. “Kami tidak ingin terjebak nama kelompok,” ia menimpali. Padahal, polisi sendiri yang pertama merilis nama Hasmi.
Target kelompok ini ada empat dan sebagian besar kembali menjadikan simbol Amerika sebagai sasaran.
Sebelumnya, gerakan teror lebih banyak membidik sasaran domestik, seperti markas polisi, tempat ibadah agama berbeda, atau kantor bank. Empat sasaran saat ini adalah: Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Plaza 89 Jakarta, membidik kantor Freeport, dan Brimob Polda Jawa Tengah di Jalan Srondol, Semarang.

Target itu, kata Boy, terungkap dari dokumen dan denah lokasi yang disita. Dugaan itu didukung dengan temuan barang bukti bahan peledak. Soal dijadikannya kembali simbol Amerika sebagai target, menurut Boy, polisi menduga terkait kemunculan film Innocence of Muslims. “Karena menodai agama Islam dan menjadi alasan kelompok ini,” ia menjelaskan.

Kepala Pengelola Plaza 89, Kuningan, Jakarta, menolak memberi komentar saat ditemui reporter GATRA Fitri Kumalasari. Pengamanan gedung tidak tampak berlebihan. Tak ada aparat kepolisian khusus yang berjaga-jaga di sekitar Plaza 89. Juru bicara PT Freeport Indonesia, Ramdani Sirait, menjelaskan bahwa hingga saat ini tidak ada teror yang ditujukan kepada perusahaan tambang itu.

PT Freeport tidak menghentikan kegiatan perkantoran akibat berita tersebut. Sebagai antisipasi, PT Freeport akan bekerja sama dengan pemerintah. “PT Freeport Indonesia adalah kontraktor Pemerintah Indonesia. Kami akan bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan keamanan dan keselamatan seluruh karyawan,” ujar Ramdani kepada Mira Febri Mellya dari GATRA.

Ketua BNPT, Ansyaad Mbai, menyebut penangkapan jaringan itu sebagai upaya pemotongan perencanaan aksi radikalisme. “Kemaren itu, operasi penggagalan rencana teroris. Kan, mereka sudah siapkan bom,” katanya kepada Edmiraldo Siregar dari GATRA di Mandarin Oriental, Jakarta.

Soal Hasmi, mantan Kapolda Sumatera Utara itu mengaku belum tahu secara detail. Kemiripan nama ini dengan Hasmi di Bogor juga sempat membingungkan dia. “Saya sempat berulang kali mengecek Hasmi ini. Itu kan nama yang asalnya dari mereka (terduga teroris yang ditangkap),” tuturnya. “Kalau untuk masalah nama, saya kurang tertarik. Yang penting, dari mana paham itu berasal.”

Relasi Abu Hanifah dengan jaringan teroris lama, Ansyaad menyatakan, pasti ada. Jaringan lama seperti JI (Jamaah Islamiyah), JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), atau NII, kata Ansyaad, tidak dapat dipisahkan dari kemunculan jaringan baru. “Walaupun tidak terkait langsung, setidaknya mindset-nya sama,” katanya. “Nama-nama baru ini kan cuma apinya, kalau kompornya masih yang lama.”

“Kompor” aksi terorisme, menurut Ansyaad, adalah pemahaman radikal terhadap ajaran agama. Pemahaman radikal pemicu aksi terorisme sulit dipadamkan. Apalagi, yang terlibat pemadamannya hanya pemerintah. “Tokoh agama harus mampu meng-counter ajaran radikal,” ujarnya.

Sumber: www.gatra.com

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved