Noor Huda Ismail: Pelaku Bisa Jadi dari Internal Polri

Laporan Wartawan Tribun Jogja, Bakti Buwono

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG  –Banyaknya spekulasi yang menghubungkan peristiwa di Solo baik itu teror hingga penembakan semalam ke politik atau pemilihan gubernur jakarta terlalu gegabah. Dulu, saat Marriot di bom Foke juga jadi gubernur.

Kalau dilihat dari kronologis tampak bahwa pelaku sangat terlatih. Dikatakan sebelum melakukan aksi, pelaku sempat mengobrol terlebih dahulu. Saat melakukan eksekusi pelaku tenang bahkan sempat melakukan tembakan peringatan.

Kita tidak bisa terlalu cepat menunjuk ke kelompok teroris tertentu, artinya banyak potensi yang terlibat.  Menurutnya, dilihat dari dua penembakan sebelumnya, pelaku justru berasal dari internal polri sendiri. Oleh karena itu, dalam menyikapi penembakan ketiga ini, polisi maupun masyarakat jangan terpancing isu yang justru akan memperkeruh keadaan.

Bisa saja pelaku beraliran thogut atau menganggap negara adalah musuh. Polisi dalam hal ini juga bisa dikategorikan musuh. Atau ada orang-orang pascakonflik yang mempunyai skill tapi tidak diterima masyarakat. Hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika pun mengalami semisal tentara yang telah bertugas di Irak saat pulang ekonominya kacau.

Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah kontrol distribusi senjata. Sebagai contoh di Amerika ada negara bagian Seatle yang diperbolehkan membawa senjata, sedangkan Kanada kontrol senjatanya ketat. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kriminalitas seattle lebih tinggi.

Kalau di Indonesia, dari sisi kepemilikan yang mempunyai hak adalah TNI dan Polisi. Di situ bisa dicari kebocorannya dimana.

Untuk menangkal ideologi-ideologi cara yang dilakukan yang paling tepat dilakukan adalah counter narasi atau melawan ideologi itu. Hingga saat ini belum ada yang meng-counter narasi itu atau dalam kata lain masih lemah. Misalnya bagaimana mengcounter narasi ‘tidak cukup islam’.

Caranya ya mulai dari mendidik berpikir kritis. Agar setiap orang bisa berpikir sesuai atau tidak tindakan yang dilakukannya dan sebagainya.

Jika diketahui bahwa pelaku adalah mantan napi teroris maka perbaikan kuratif di tingkat penjara perlu dilakukan. Adanya kembali napi atau residivis yang tidak berubah menunjukkan perlu adanya perbaikan di sistem penjara.

Kondisi Solo berbeda dengan Yogyakarta. Keberagaman di Solo membuat banyak lahir organisasi yang tidak mainstraim seperti Yogyakarta yang misalnya mempunyai basis Nahdatul Ulama maupun Muhammadiyah yang kuat. Sehingga di sana banyak muncul pemikiran yang interpretatif. Hal itu dibuktikan dengan munculnya Majelis Tafsir Alquran, Ponpes Ngruki dan sebagainya.

Faktor Kesultanan yang tidak mempunyai legitimasi yang kuat turut berpengaruh. Berbeda dengan yogyakarta yang faktor budayanya kuat. Di Solo, bisa dikatakan dapurnya (penghasil sumber daya manusia). Lihat saja, laskar yang ada di solo sangat banyak.

Sumber: tribunnews.com

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved