Anak Muda Berafiliasi dengan Jaringan Lama

JAKARTA, KOMPAS.com – Pelaku aksi teror di Solo, Jawa Tengah, diduga punya ikatan emosional dan pernah berkomunikasi dengan jaringan lama. Polisi masih terus mendalami kasus yang melibatkan anak-anak muda tersebut.

Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (3/9), Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengatakan, ”Kami masih menunggu hasil dari laboratorium forensik, termasuk kemungkinan keterkaitan dengan kasus sebelumnya.”

Jumat malam lalu, Detasemen Khusus Antiteror menyergap tiga orang yang diduga menembak Ajun Inspektur Dua (Anumerta) Dwi Data Subekti hingga tewas. Dua di antaranya, Farhan Mujahidin (19) danMukhsin Sanny Permadi (20), tewas dalam baku tembak di Jalan Veteran, Kelurahan Tipes, Solo. Terduga lainnya, Bayu Setiono, warga Tipes, ditangkap di kediaman mertuanya di Desa Bulurejo, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar menegaskan, di dalam tas pinggang milik Farhan ditemukan tiga magasin dan tiga hollowpoint berukuran 9 milimeter.

Ditemukan pula beberapa lembar surat yang menjelaskan ideologi mereka. Dalam surat itu juga dijelaskan pembalasan dendam kepada polisi karena telah menangkap tokoh mereka. ”Balas dendam kepada anggota kepolisian itu sandinya main bola. Kalau pengantin adalah sandi bom bunuh diri,” kata Boy Rafli.

Dari pemeriksaan terhadap Bayu diketahui bahwa Farhan merupakan eksekutor dari tiga aksi yang mereka lakukan di Solo, yaitu pada 17, 18, dan 30 Agustus 2012. Sementara Bayu ikut merencanakan ketiga aksi itu. Misalnya, dalam aksi 17 Agustus 2012, peran Bayu adalah menukarkan pelat nomor kendaraan yang akan dipakai.

Farhan adalah anak tiri Abu Omar, pemimpin kelompok Abu Omar. Senjata yang dipakainya diduga berasal dari Filipina. Kelompok Farhan diduga punya kaitan emosional dengan jaringan sebelumnya. ”Boleh dibilang ini adalah beberapa afiliasi dari sejumlah kelompok yang selama ini sudah terungkap,” tutur Boy Rafli.

Keterlibatan para pelaku yang masih sangat muda itu seolah-olah ingin menunjukkan eksistensi mereka di tengah lingkaran setan terorisme. ”Kami dikejutkan dengan anak yang baru berusia belasan tahun. Kami anggap ini masih ingusan karena mereka berpikir pendek dan emosional. Bagi kami, ini tidak menguntungkan, baik untuk pesantren maupun umat Islam secara luas,” ujar Direktur Pondok Pesantren Al Mukmin KH Wahyudin, Senin, di Ngruki, Desa Cemani, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Wahyudin menyebutkan, Farhan dan Mukhsin merupakan bekas santri Pondok Pesantren Al Mukmin. Farhan mengenyam pendidikan di madrasah tsanawiyah pada 2005-2008, sedangkan Mukhsin murid madrasah aliyah pada 2007-2010. Sementara Bayu diketahui hanya mengenyam pendidikan di tingkat SD dan tidak tamat.

Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan, fenomena terorisme yang dilakukan anak muda beberapa tahun terakhir disebabkan banyaknya anak muda yang saat ini tidak memiliki banyak alternatif pilihan. Kondisi itu ditambah dengan tradisi berpikir kritis yang semakin luntur di kalangan anak muda.

”Masalahnya kini adalah lingkaran setan terorisme yang diikuti penindakan dengan kekerasan terus ada. Karena terus menyisakan residu kebencian, mereka memiliki energi terus-menerus untuk membalas dendam. Anak-anak muda ini seolah ingin menunjukkan eksistensi mereka,” ujar Noor Huda.

Oleh karena itu, negara seharusnya mengubah cara untuk menangani terorisme. Selama ini penanganannya hanya sebatas siapa melakukan apa. Bagaimana dan mengapa hal itu terjadi tidak pernah tersentuh. (UTI/NWO)

Sumber: Kompas

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved