Newsletter Juni 2012

Merangkul Keluarga, Menepis Stigma

By Eka Mayo

Istri dan anak sebagai komunitas terdekat pelaku teror seringkali menjadi faktor yang terlupakan dalam upaya mendorong proses disengagement. Stigma ‘teroris’ tak jarang membuat istri dan anak pelaku mendapat diskriminasi. Namun mereka memiliki ‘cerita’ tersendiri untuk bertahan. Bagaimanapun penting untuk mendorong terciptanya ruang yang kondusif bagi proses disengagement dalam diri pelaku teror dan keluarganya. Pada Oktober 2012 nanti, peringatan tragedi bom Bali I akan genap 10 tahun. Para pelaku bom Bali I telah menerima ganjarannya. Trio bom Bali : Mukhlas, Amrozy dan Imam Samudra sudah dihukum mati. Ali Imron, Mubarok, Sawad dan Abdul Ghoni menjalani hukuman seumur hidup. Puluhan pelaku lain, yang rata–‐rata mendapat vonis kurang dari 10 tahun, sudah dibebaskan. Kini, bagaimana kondisi keluarga pelaku teror setelah hampir 10 tahun tragedi ini terjadi? Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Fadlullah Hasan, salah seorang narapidana seumur hidup dalam kasus bom Bali I, memiliki seorang istri bernama Titin.

Mereka dikaruniai dua orang anak, A (12 tahun) dan Q (10 tahun). “Umi, apa artinya keluarga kalau Abi tidak pernah pulang?” “Kapan Abi pulang?” Pertanyaan itu kerap diajukan ke Titin dari A dan Q sejak mereka kecil. Sampai hari ini. Abi adalah panggilan Ayah dalam keluarga mereka. Kini, hampir 10 tahun pula mereka hidup tanpa figur Ayah. Perlahan, pertanyaan yang diajukan makin kritis. “Aku tahu kenapa Abi tidak pulang. Abi tidak boleh pulang kan sama bapak Polisi itu?”. Semua pertanyaan ini menyulitkan Titin. Jawabannya tentu tidak semudah yang ada dalam benak anak–‐anaknya. Mereka tidak tahu bahwa pertanyaan tersebut membuat Titin getir dan berpikir keras. Figur suami dan Abi hanya dapat dirasakan Titin dan anak–‐anak ketika mereka berkunjung ke Jakarta.

Menengok Abinya di rumah tahanan Mabes Polri saat libur kenaikan kelas. Bagi Titin, secara fisik, kini tak ada lagi figur suami yang dapat menemaninya membesarkan anak–‐anak, menjadi imam ketika sholat dan menjadi tempat berbagi ketika persoalan hidup terasa menghimpit. Meski komunikasi dan ikatan batin mereka kuat. Hal yang sama terjadi pada Rubiyati. Suaminya, Umar Cipto Sumarto, harus menjalani hukuman seumur hidup di Malaysia karena terlibat dalam pembelian senjata ilegal. Senjata tersebut rencananya akan dikirimkan ke Ambon. Kisah perpisahan Rubiyati dan Umar bermula pada Juli 2000 ketika suaminya pamit untuk jihad ke Ambon. Untuk biaya berjihad, Umar menjual sepeda motor satu–‐ satunya seharga Rp 10 juta. Setelah beberapa bulan pergi, pada Desember 2000, suaminya menelpon memberi kabar bahwa kondisinya baik–‐baik saja. Namun, komunikasi mereka terputus karena sinyal telepon seluler yang tidak bagus.

Sejak itu, bertahun–‐tahun Rubiyati menunggu kabar dari suaminya namun tidak ada kabar sedikitpun. Selama itu, Rubiyati gelisah menanti dalam ketidakpastian. Peran pencari nafkah pun dilakoninya dengan bekerja di pabrik hingga menjadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Solo. Semua dia lakukan agar kehidupannya bersama dua anaknya, satu laki–‐laki dan satu perempuan, dapat terus berlangsung. Pada 20 September 2005, bagaikan petir di siang hari, Rubiyati menerima informasi melalui surat dari Konsulat Jenderal RI Sabah (Malaysia) yang mengabarkan bahwa suaminya telah ditangkap di Malaysia pada Juni 2001 dan dituntut hukuman gantung oleh Mahkamah Tinggi Kota Kinabalu. Bertahun–‐tahun mencari dan menunggu kabar berharap suaminya segera kembali dari Ambon, tiba–‐tiba datang surat KJRI yang membuat hidup Rubiyati menjadi gelap. Upaya Rubiyati untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengan suaminya panjang dan melelahkan.

Setelah 12 kali mengirimkan surat kepada KJRI tanpa ada balasan, akhirnya pada tahun 2009 datang surat dari Umar yang mengabarkan kondisi terakhirnya di penjara dan kesedihannya karena tak pernah mendapat kabar dari istri tercinta. Rubiyati ingin sekali membalas surat Umar tersebut namun Ia tak tahu kemana harus mengirimkannya, karena tak ada alamat pengirim dalam surat Umar. Hingga pada tahun 2011 Rubiyati membaca buku “Temanku Teroris?” yang ditulis Noor Huda Ismail. Kisah dalam buku itu mendorong Rubiyati untuk menghubungi Noor Huda Ismail melalui Titin yang kebetulan sudah dikenalnya. Noor Huda Ismail kemudian membantu memfasilitasi Rubiyati berkunjung ke Kota Kinabalu, untuk bertemu dengan Umar pada 13–‐14 Juli 2011. Itu adalah pertemuan pertama Rubiyati dengan suaminya setelah 11 tahun berpisah. Kehidupan rumah tangga tanpa hadirnya suami telah dijalani Titin dan Rubiyati selama hampir 10 tahun. Ini kondisi dilematis.

Satu sisi mereka harus setia menerima kondisi suami dan menunggu suami mereka hingga waktu yang panjang, karena mereka mempercayai bahwa apa yang dilakukan suami mereka adalah untuk membela Islam. Namun, di sisi lain mereka membutuhkan kejelasan nasib dan masa depan anak–‐anak mereka. Titin dan Rubiyati harus menjalankan peran sebagai ibu sekaligus kepala keluarga yang harus mencari nafkah. Tidak jarang orang bertanya kemana suami mereka. Pertanyaan tersebut sedapat mungkin mereka jawab dengan diplomatis. Jawaban yang tak kalah sulitnya seperti ketika mereka harus menjawab pertanyaan dari anak–‐anak mereka. Frekuensi dan besar kecilnya peluang bertemu suami dapat menjadi kekuatan tersendiri bagi Rubiyati dan Titin serta alasan mereka untuk mengukur seberapa lama mereka kuat menjalani hidup tanpa ketidakpastian. Rubiyati dan Titin memiliki frekuensi pertemuan yang berbeda dengan suami mereka.

Masa tahanan Umar yang harus dijalani di Malaysia membuat Rubiyati sulit bertemu karena keterbatasan finansial, sehingga penantian Rubiyati seolah lama dan tak berujung. Sejak suaminya ditahan di Malaysia, Rubiyati baru bertemu Umar sekali di tahun 2011. Saat bertemu Umar, Rubiyati masih menyimpan harapan hidup di masa depan bersama suaminya. Namun, saat saya bertemu dengannya beberapa waktu lalu, nampaknya beban yang harus ditanggungnya terlihat sangat menyesakkan sehingga air mata seringkali menetes di sela–‐sela obrolan kami. Saya menangkap ada batas kekuatan yang nampaknya tidak mampu lagi ditanggung Rubiyati. Sementara Titin, relatif mudah mengatur waktu berkunjung ke suaminya bersama anak–‐anak. Mubarok ditahan di Jakarta, jarak dan biaya masih relatif terjangkau. Titin tampak tegar saat berbincang dengan saya.

Keluarga bisa menjadi penyangga utama dalam mendorong putusnya rantai kekerasan melalui disengagement, suatu proses melepaskan diri dari kekerasan dan radikalisme. Istri menjadi layer kedua setelah suami yang dapat membantu menjaga dan membentuk aspek psikologi anak–‐anak saat figure Ayah hilang dari kehidupan mereka. Titin menjaga kondisi psikologis anak–‐anaknya dengan mengulur waktu untuk memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Abi kepada anak–‐anaknya. Ia menjauhkan anak–‐anaknya dari televisi agar anak–‐anaknya terlindungi dari informasi yang dapat mengganggu proses perkembangan psikologinya. Proses disengagement pada beberapa pelaku terror biasanya muncul akibat adanya peristiwa tertentu yang membuat pelaku mempertanyakan kembali apa yang selama ini telah dilakukannya.

Mubarok adalah tipe pelaku yang memiliki potensi disengaged. Misalnya saja, dalam sebuah wawancara dengan jurnalis dari The Australian, Titin pernah mengutarakan bahwa suaminya, Mubarok, pernah hampir menangis karena melihat anak–‐anaknya tumbuh tanpa kehadiran dirinya. Ekspresi tersebut menjadi bentuk penyesalan Mubarok. Masyarakat sebenarnya juga dapat membantu para pelaku dalam mendorong proses disengagement tersebut melalui pemberian ruang interaksi yang sehat bagi proses reintegrasi pelaku dalam masyarakat tanpa melekatkan stigma ‘teroris’. Ada beberapa catatan mengenai upaya pemerintah, dalam konteks ini polisi, dalam melakukan pendekatan persuasif kepada beberapa keluarga pelaku konflik di Poso. Namun sayangnya, pendekatan dan pendampingan pada keluarga pelaku tersebut belum dapat merangkul seluruh keluarga pelaku kekerasan.

Titin dan Rubiyati bisa menjadi contoh baru bagi tumbuhnya komunikasi dan reintegrasi antara keluarga pelaku terror dengan masyarakat atau bahkan pemerintah. Kearifan seorang istri dan dukungan dari anak–‐anak bukan tidak mungkin bisa mendorong suami untuk mengalami disengagement.

Umar Patek, dari Penyesalan ke Disengagement

By Taufik Andrie

Kisah Umar Patek, buronan teroris kasus bom Bali I, yang menghilang lama di Mindanao sebelum ditangkap di Pakistan pada 2011 sangat menarik dan unik. Setelah menangis, menyatakan menyesal dan meminta maaf di persidangan, akankah Umar Patek mengalami disengagement? Senin, 7 Mei 2012 salah satu tokoh penting dibalik bom Bali I, Oktober 2002, Umar Patek, memberikan kesaksian dalam sesi pemeriksaan terdakwa sambil terisak, Ia menyesal dan menyatakan permohonan maaf, pada korban tewas dan luka–‐luka dari Indonesia maupun dari negara lain.

Umar Patek juga meminta maaf atas kerugian yang diderita masyarakat Bali dan pemerintah Indonesia. Umar Patek mengulang kembali permohonan maaf itu pada 21 Mei lalu saat jaksa menuntutnya hukuman penjara seumur hidup. Dalam catatan saya, pernyataan penyesalan secara terbuka oleh terdakwa dalam suatu persidangan kasus terorisme hanya terjadi sebanyak dua kali yaitu dalam persidangan Ali Imron di tahun 2003 dan persidangan Umar Patek kali ini.

Apa yang menarik dari fenomena penyesalan ini? Apakah penyesalan dan permintaaan maaf Umar Patek ini tulus dari hati terdalam atau hanya merupakan langkah strategis dalam menghadapi persidangan? Adab “Jihad” Hisyam bin Alizen alias Abu Syekh alias Umar Kecil alias Anis Alawi Jafar alias Umar Patek ini lahir di Pemalang, 20 Juli 1970. Umar Patek menempuh pendidikan dari SD sampai lulus dari SMA Muhammadiyah 01 di Pemalang. Tumbuh dalam keluarga keturunan Arab di kawasan kampung Arab di Pemalang, dari ayah bernama Ali Zein dan ibu bernama Fatimah (almarhumah), Umar Patek jadi pribadi yang taat. Selepas SMA tahun 1991, Umar Patek, sebagai anggota Darul Islam (DI), mendapat kesempatan untuk berangkat ke Afghanistan untuk menempuh pendidikan di Al Ittihad Military Acedemy di Sadda, daerah perbatasan antara Pakistan–‐Afghanistan.

Patek mengambil spesialis field engineering sebagai bagian dari angkatan ke–‐9 bersama 23 orang Indonesia lainnya. Umar Patek juga belajar ilmu persenjataan dan teknik merakit bom serta mematangkan keahliannya itu ketika mendapat tugas dari pimpinan al Jamaah al Islamiyah (JI) untuk melatih di camp Hudaibiyah, di Filipina Selatan pada pertengahan 1995. Di Mindano, sejak 1995 hingga kurang lebih tahun 1999. Umar Patek melatih dan turut bertempur bersisian dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF), kelompok perlawanan bersenjata berbasis Islam di Minadao, Philipina Selatan, yang menginginkan kemerdekaan.

Kemudian pada tahun 2003–‐2009 Patek lebih banyak berintekrasi dengan Abu Sayyaf Group (ASG), sebuah kelompok yang aktif bergerilya melawan tentara Philipina, meski sesekali ASG juga pernah melakukan tindakan kejahatan, misalnya menculik demi uang tebusan. Menurut Ali Imron (teman se–‐angkatan Umar Patek selama di Afghanistan yang juga terlibat dalam bom Bali 2002 dan mendapatkan hukuman seumur hidup), Umar Patek memiliki prinsip jihad (perang) yang sangat kuat, terutama pemahaman mengenai adab jihad (tata cara perang), apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam jihad. Salah satu prinsip jihad Umar Patek adalah berjihad pada medan perang yang tepat, dengan kriteria musuh yang jelas yaitu tentara musuh yang bersenjata, tanpa wanita dan anak–‐anak atau elemen non–‐combatant lainnya. “Sejak masih di Afghanistan, dia (Umar Patek) berpendapat tidak mau melakukan jihad di tempat yg tidak ada front jihad (perang) secara langsung, makanya ketika pulang dari sana dia tidak mau balik ke Indonesia tapi langsung ke Filipina, “ kata Ali Imron dalam suatu wawancara dengan saya. Menurut Ali Imron, pula bahwa Umar Patek sangat percaya bahwa jika aksi jihad (perlawanan dengan kekerasan) dilakukan bukan di tempat jihad akan banyak salahnya daripada benarnya, akan banyak melanggar adab jihad daripada mengikuti adab jihad.

Lantas, jika Umar Patek berprinsip demikian, bagaimana keterlibatannya dalam bom Malam Natal tahun 2000 dan bom Bali 2002? Ali Imron menceritakan lebih lanjut bahwa Umar Patek memang terlibat dalam bom Malam Natal tahun 2000, namun dalam kapasitas membantu Dulmatin, yang terbunuh dalam operasi polisi pada 2010 di Pamulang. Dulmatin merupakan senior Umar Patek yang kebetulan sama–‐sama berasal dari Pemalang. Seingat Ali Imron, Umar Patek datang ke Jakarta pada Desember 2000, dari Philipina, karena diminta oleh Dulmatin. Umar Patek sendiri tidak terlibat dalam perencanaan dan persiapan pengeboman. Kepatuhan buta ini membuat Umar Patek turut meracik bom yang kemudian diledakkan di beberapa gereja di Jakarta. Ketelibatan Umar Patek sepertinya lebih karena rasa sungkan terhadap seniornya, Dulmatin.

Dalam bom Bali 2002, Umar Patek membantu Sawad (Sarjiyo) meracik (bom), itupun Ia sempat menunjukkan ketidaksetujuannya kepada Ali Imron. Waktu itu Ali Imron hanya menjawab, “Ya, mau bagaimana lagi, kita ini kan hanya junior yg mengikuti senior. Ya semoga setelah ini ada kesudahan yang terbaik.” Seperti halnya dalam bom Malam Natal Desember 2000, Umar Patek sama sekali tidak terlibat dalam perencanaan dan tahap persiapan. Kedatangannya ke Jakarta, lagi–‐lagi atas permintaan Dulmatin, yang kemudian menugaskan Umar Patek untuk membantu proses peracikan bahan peledak.

Prinsip yang dipegang Umar Patek dalam adab jihad, dalam artian medan perang, terwujud dalam dua kejadian. Pertama, ketika Ia memilih untuk melarikan diri di Mindanao paska bom Bali I, dengan anggapan Mindanao adalah medan jihad (perang) yang tepat. Kedua, ketika Umar Patek memutuskan tidak terlibat dalam pelatihan bersenjata di Aceh pada tahun 2010, bersama Dulmatin dan kelompok lintas tandzim, dan lebih memilih untuk pergi ke Pakistan. Seseorang yang meyakini adab jihad, ketika menemukan kondisi lapangan yang tidak ideal, biasanya cenderung untuk tidak bersedia terlibat (lagi) dan lebih jauh lagi melepaskan diri.

Dengan dibarengi rasa menyesal, Umar Patek seolah menuju pada kesadaran baru, ketika menilai apa yang dilakukannya selama ini di Indonesia tidak sesuai dengan adab jihad yang diyakininya. Dari Penyesalan ke Disengagement Tidak ada seseorang yang bangun di pagi hari kemudian berkata, “Aku akan menjadi teroris.” Demikian juga sebaliknya, tidak ada seseorang yang bangun di pagi hari tiba–‐tiba berkata “Aku akan berhenti menjadi teroris”; Bahwa ada proses dalam menjadi (being) dan ada proses untuk berhenti (leaving). Secara teoritis, semua terpidana kasus terorisme, punya kesempatan yang sama untuk disengaged. Disengaged disini bermakna individu yang bersedia melepaskan diri dari jalan kekerasan. Dalam riset awal yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) mengenai Level of Disengagement, penyesalan adalah proses awal seorang individu sebelum bisa mengalami disengagement.

Sebagian besar responden dalam riset tersebut mengaku bahwa penyesalan adalah sikap yang absurd, mengingat mereka menyadari sepenuhnya bahwa keadaan mereka saat ini adalah karena Qadarallah (takdir Allah). Secara manusiawi, respoden menyatakan bahwa mereka sedikit banyak merasa menyesal. Terutama karena telah membuat kesulitan hidup pada keluarga. Perasaan mengabaikan keluarga dan melukai hati istri dan anak–‐anak inilah yang menjadi dasar seorang individu menyesal. Namun sikap mental religius membuat responden merasa perlu istiqomah (konsisten) dengan pilihan mereka. Bagi mereka, menyesal bukanlah bagian dari karakter seorang yang berpegang pada prinsip–‐prinsip religius. Penyesalan yang bersifat terbuka, seperti yang dilakukan Umar Patek, perlu diberi catatan. Dalam kasus penangkapan Umar Patek di Pakistan 25 Januari 2011, Ia dan istrinya Ruqayyah alias Fatima Azzahra binti Husein Luceno, tidak pernah mengalami penyiksaan.

Meski proses pemeriksaan berlangsung panjang, namun menurut media, tampaknya Umar Patek tidak tertekan. Jika melihat dari fakta adanya perlakuan yang bersifat soft approach ini, maka ungkapan penyesalan Umar Patek dimuka peradilan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dilakukan dengan sadar alias tanpa tekanan. Dalam kasus Umar Patek, penyesalan ini menjadi titik awal. Masih ada proses lanjutan sebelum mengalami disengagement ; yaitu proses evaluasi dan proses disengagement itu sendiri, berupa pemenuhan atas beberapa indikator. Misalnya, menyatakan secara terbuka bahwa seorang individu akan menolak perjuangan bersenjata, menjadi lebih toleran dan mengedepankan strategi non–‐ violence. Namun peluang disengagement sudah dimiliki oleh Umar Patek, seperti halnya yang diakui oleh Ali Imron dan Mubarok, dua kompatriotnya dalam bom Bali 2002, dengan alasan mendasar perjuangan bersenjata tidak tepat dilakukan di Indonesia.

Pilihan Umar Patek untuk menyesal sangat bagus dalam dinamika penanganan terorisme di Indonesia. Meskipun banyak anak muda dalam lingkaran kelompok radikal yang pasti kecewa dengan pilihan Umar Patek, salah satu idola mereka, “teroris” seharga 1 juta dollar.

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved