Newsletter Maret 2012

Segitiga Emas Terorisme

By Fatima Astuti

Indonesia, Filipina dan Malaysia merupakan segitiga emas terorisme dimana teroris mampu melakukan penetrasi (misal, melalui perekrutan maupun kerjasama dengan kelompok lokal) dan pergerakan illegal di ketiga negara tersebut. Ini merupakan sebuah tantangan bagi kontra terorisme di region ini. Apa yang harus dan dapat dilakukan ke depan?

Februari 2012 lalu dilaporkan, salah seorang pimpinan Jemaah Islamiyah (JI) – kelompok teroris yang (berbasis) di Indonesia – berwarganegaraan Malaysia, yang telah lama diburu oleh beberapa negara, termasuk Amerika, berhasil melarikan diri dari serangan udara The Armed Forces of the Philippines (AFP), tentara Filipina. Serangan dilakukan di markas persembunyian Abu Sayyaf Groups (ASG, sebuah organisasi teroris di Filipina) di Jolo, Filipina Selatan. Sebelumnya, diberitakan bahwa operasi militer ini berhasil membunuh pelarian kelas kakap ini bersama 14 orang compatriotnya dalam serangan udara dinihari tersebut.

Angkatan Laut Filipina (The Philippine Navy) menyatakan pada Juni 2011, paling tidak terdapat 5 warga negara asing yang memiliki hubungan dengan Osama Bin Laden – pimpinan Al Qaeda yang mati terbunuh dalam operasi Amerika di Pakistan – bersembunyi di wilayah selatan Filipina. Figur nomor satu dalam daftar tersebut adalah seorang ahli mesin yang dilatih di Amerika, Zulkifli bin Hir, alias Marwan – warga negara Malaysia yang diberitakan telah melakukan pelatihan pembuatan bom terhadap anggota ASG. Nama-nama lainnya yang dicantumkan adalah Mauwiyah, warga negara Singapura dengan latar belakang India cum bekas anggota militer Singapura; Saad dan Qayyim, dari Indonesia; serta Amin Baco, yang juga dari Malaysia.

Namun, menurut Prof. Rommel Banlaoi, Direktur Eksekutif the Philippine Institute for Peace Violence and Terrorism Research (PIPVTR), kurang lebih ada sekitar 30 pelaku teroris asing yang ada di Mindanao. Kehadiran dan pergerakan para pelaku dengan bermotifasikan keagamaan di tiga negara ini, Indonesia, Filipina, dan Malaysia sudah berjalan sejak 1996. Sudah cukup banyak jumlahnya para pelaku yang bergerak masuk dan keluar negara-negara tersebut secara illegal meskipun di sisi lain meningkatnya langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh negara-negara tersebut baik dalam aspek kontra terorisme maupun penjagaan perbatasan antar negara.

Untuk menjelaskan lebih jauh fenomena tersebut, pada Juni 2009, Umar Pater pergi ke Indonesia melalui jalur laut, dimulai dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan, menuju Tarakan, Kalimantan Timur. Perjalanan ini dilakukan dengan ditemani dua pelaku lainnya, Hasan Noor dan Harry Kuncoro alias Ucheng. Dari Tarakan, Patek melanjutkan perjalanan menggunakan kapal menuju Surabaya, Jawa Timur dan kemudian menggunakan bis ke Jakarta. Di Jakarta, dia bertemu dengan Dulmatin yang menjemputnya di terminal bis Pulogadung, Jakarta Timur. Sebelum perjalanannya ini, Umar Patek dilaporkan telah mendapatkan 970,000 Pesos (USD 22,400) dari pimpinan ASG. Sebagai tambahan, Patek juga mendapatkan 17,000 Pesos (USD 3,900) dari hasil penjualan M16 dengan 16 magazines beserta amunisinya. Uang tersebut untuk membiayai perjalanan Umar Patek ke Indonesia dan Afghanistan. Dengan menggunakan identitas palsu sebagai Anis Alawi Jafar di passport asli yang dia buat pada Juni 2009 di kantor Imigrasi Jakarta Timur dengan bantuan Dulmatin, Patek dan istrinya, Fatima Zahra, berhasil meninggalkan Indonesia menuju ke Pakistan pada 30 August 2010 dengan menggunakan pesawat lewat Bangkok, Thailand. Umar Patek, yang diburu beberapa tahun terakhir, dipercaya tinggal di Filipina paska Bom Bali 2002, sebelum ditangkap di Pakistan pada January 2011. Sekelumit data ini tercantum dalam Berkas Acara Pemeriksaan atas nama Umar Patek. Kini Umar Patek tengah menghadapi sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Operasi kepolisian Indonesia pada Maret 2010 berhasil menembak mati Dulmatin di Jakarta, Indonesia – seorang pelarian yang dipercaya intelijen berada di Filipina selama 7 tahun terakhir– menunjukkan bahwa sebegitu mudahnya teroris asing masuk dan keluar antar ketiga negara. Salah satu teroris yang juga ditembak mati dalam operasi tersebut adalah Hasan Noor (Hasan Noer) alias Blackberry, seorang warga negara Filipina. Dia dikenal sebagai pengawal – Dulmatin dan – sebagaimana disebutkan diatas – aktif membantu Umar Patek saat dia melarikan diri dari Filipina Selatan untuk masuk ke Indonesia.

Ketiga fakta diatas menunjukkan betapa masih lemahnya keamanan lintas batas negara, disamping meningkatnya strategi kontra terorisme yang telah diterapkan di ketiga negara tersebut. Indonesia telah menangkap kurang lebih 600 pelaku terkait kasus terorisme sejak bom Bali 2002 ataupun Malaysia dengan International Security Act nya. Tanpa bermaksud untuk menunjuk salah satu negara, hal ini jelas tanggung jawab negara untuk meningkatkan perhatian mereka mengenai keamanan lintas negara. Hal ini tidak hanya terkait dengan pergerakan pelaku teroris asing namun juga terkait dengan penyelundupan senjata. Dua hal penting tersebut menunjukkan ancaman terhadap negara akan menjadi tinggi ketika peluang dan keinginan, dalam hal ini direpresentasikan oleh faktor manusia/pelaku dan persenjataan, menjadi sangat terbuka dan dominan.

Pemerintah Indonesia harus sesegera mungkin meningkatkan keseriusannya untuk perlindungan perbatasan dan peningkatan kapasitas angkatan laut dan aparat terkait lainnya untuk mengamankan perbatasan. Kerjasama lintas batas antar negara harus ditingkatkan dengan implementasi yang efektif berdasarkan fakta-fakta lapangan. Misalnya, dalam pencarian seseorang dengan mensimplifikasi fakta bahwa mereka adalah pelaku teroris asing di Filipina Selatan sebagai bagian dari JI, hanya akan menghasilkan strategi yang salah. Sebagaimana dipaparkan Prof. Banlaoi, penggunaan istilah kehadiran JI di Filipina menjadi ambigu karena para pelaku asing tersebut menolak untuk disebut sebagai bagian dari JI. Beberapa lebih suka diidentifikasikan sebagai bagian dari JAT (Jamaah Anshorut Tauhid), sebuah organisasi di Indonesia yang baru-baru ini dinyatakan sebagai organisasi teroris asing (foreign terrorist organization) oleh departemen Luar Negeri Amerika. Penyebutan identifikasi keanggotaan JAT in juga merupakan bukti lain tentang keberadaan kerjasama antar pelaku teroris di region ini. Setelah JAT dimasukkan sebagai organisasi teroris asing, penyebutan JAT di Filipina pun menghilang. Sehingga dapat disimpulkan simplifikasi identifikasi pelaku teroris asing di Filipina hanya akan berdampak buruk terhadap kerjasama antar negara dalam mengatasi terorisme. Mengembangkan sebuah kerjasama lintas negara di region ini dengan berdasarkan fakta dan perkembangan di lapangan akan menghasilkan peluang keberhasilan yang lebih baik dalam mengurangi ancaman terorisme di region ini.

Mahasiwa dan Gerakan Terorisme di Indonesia

By Thayyep Malik dan Fatima Astuti

Beberapa alumnus dan mahasiswa sebuah universitas Islam negeri di Jakarta telah dinyatakan secara hukum terlibat kasus terorisme. Sebut saja Pepi Fernando yang terlibat dalam kasus bom Buku. Juga Fajar Firdaus yang terlibat terorisme karena menyembunyikan informasi mengenai, Syaifudin Zuhri dan Mohammad Syahrir, buronan bom Marriot Juli 2009. Ada fenomena apa dibalik keterlibatan mereka, para alumni dan aktifis kampus ini?

Pada 5 Maret 2012, Pepi Fernando dijatuhi hukuman 18 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana terorisme terkait kasus bom buku 2011. Sebelumnya, pada 3 Agustus 2010, Fajar Firdaus, bersama dua rekannya Afham Ramadhan dan Sonny Jayadi dihukum 4,6 tahun penjara karena terbukti menyembunyikan informasi dua buronan terorisme, Syaifudin Zuhri dan Mohammad Syahrir, pelaku pengeboman JW Marriot dan Ritz Carlton, Juli 2009.
Apa yang menarik dari kedua kasus tersebut? Menarik karena keempat terdakwa tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang sama, yaitu berasal dari sebuah universitas Islam di Jakarta. Apakah hal ini menunjukkan sebuah tren khusus keterlibatan mahasiswa dari universitas Islam dalam gerakan terorisme di Indonesia?

Proses Keterlibatan
Fajar, Afham dan Sonny merupakan tiga mahasiswa dari UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Afham dan Sony satu angkatan dan satu kelas, mereka adik kelas Fajar Firdaus. Afham dan Fajar masih tergolong kerabat dengan Zuhri dan Syahrir. Hanya Sonny yang bukan kerabat. Hubungan kekerabatan Afham dan Fajar dengan Zuhri terjadi karena Zuhri menikah dengan bibi dari Fajar.

Diantara ketiganya, Fajar merupakan sosok yang menarik. Fajar semasa mahasiswa pernah menjadi bagian dari klub motor bernama “Scorpio”, aktif di HMI dan hobinya naik gunung. Latar belakang Fajar inilah yang kemudian menjadi unik, anak motor namun kemudian menikah dengan adik kelasnya – yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Secara kultural di kalangan LDK, urusan pernikahan mereka cukup selektif dan biasanya akhwat (panggilan bagi perempuan) dinikahkan dengan sesama aktivis LDK. Hal ini cukup mengherankan juga mengingat, berdasarkan wawancara, ada anggapan dari Fajar bahwa mahasiswa yang masuk organisasi seperti LDK dan KAMMI seperti orang yang “sok suci”, alasan yang juga menyebabkan pilihan organisasi Fajar jatuh pada HMI. Sampai sekarang Fajar tidak menyangka kalau dirinya akan menjadi terpidana kasus terorisme.

Sebelum menjadi mahasiswa UIN Jakarta, Fajar pernah belajar di beberapa pesantren. Pertama kali Fajar belajar di pesantren Al-Kholidin yang terletak satu komplek dengan Masjid Syarif Hidayatullah Kebayoran Baru. Fajar kemudian pindah ke pondok pesantren Al-Ghozali Parung. Terakhir Fajar pindah lagi ke pondok pesantren Husnul Khotimah Kuningan Cirebon Jawa Barat. Nama pesantren yang disebut terakhir ini ditengarai memiliki beberapa alumni yang bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski belum dapat dipastikan apakah pesantren tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam perilaku dan pemikiran Fajar.

Sosok Zuhri cukup berpengaruh bagi Fajar, karena Zuhri dianggap sebagai seorang paman yang mampu memberikan nasihat-nasihat keagamaan. Zuhri menjadi dekat dengan Fajar sejak tahun 2004. Bahkan Zuhri sering bermalam di tempat kost-nya. Fajar awalnya tidak menaruh curiga kepada kedua pamannya tersebut. Selain berperilaku baik, kedua pamannya ini juga sering memberikan masukan-masukan masalah agama. Alasan itu pulalah yang membuat Fajar setuju untuk membantu sang paman mencari tempat tinggal. Selain faktor keluarga, tampaknya proses transformasi pengetahuan keagamaan inilah yang membuat Fajar bersedia membantu pamannya. Tampaknya, factor kinship (kekerabatan) dan pencarian jati diri menjadi kata kunci bagi proses keterlibatan Fajar dalam terorisme.
Sosok Fajar memang tidak serta merta dapat dijadikan preseden bahwa para alumni atau mahasiswa dari suatu universitas tertentu memiliki proses “radikalisme” yang sama. Proses keterlibatan seseorang pada sebuah kelompok (radikal) sangat berbeda satu sama lain.

Namun demikian, selalu ada pertanyaan besar terkait dengan dinamika seperti apa yang terjadi di lembaga pendidikan tinggi tersebut? Lembaga pendidikan seperti pesantren misalnya, pernah beberapa kali dituduh terkait dengan proses ideologisasi dan rekruitmen seseorang sebelum bergabung dalam kelompok radikal. Untuk kemudian lebih jauh lagi, menjadi individu radikal yang mencapai level yang lebih dari sekedar berbahaya; yaitu memilih jalan kekerasan dan terorisme. Benarkah demikian? Jika benar, kira-kira faktor seperti apa yang mempengaruhinya.

Membangun Budaya Kritis

Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan YPP, ada beberapa alasan kenapa seorang mahasiswa terlibat dalam organisasi radikal. Pertama, keinginan untuk melanjutkan kegiatan keagamaannya seperti ketika masih di organisasi Rohis (Kerohanian Islam) saat di SMA. Kedua, punya latar belakang keluarga yang ideologinya sama dengan pemimpin organisasi. Ketiga, di ajak oleh seniornya. Ke-empat, memperdalam ilmu agama. Kelima, memperbanyak teman. Dan ke-enam, sekedar ikut-ikutan. Temua-temuan ini tentu butuh dikaji lebih lanjut dalam kerangka ilmiah yang lebih sophisticated. Namun bagaimanapun temuan awal ini cukup menjelaskan alasan-alasan mendasar kenapa seorang mahasiswa menjadi radikal.

Idealnya, universitas Islam menjadi ruang yang mampu memunculkan semangat berpikir kritis dalam kerangka tradisi intelektual yang tumbuh di dalamnya. Budaya kritis ini perlu didorong kembali sebagai medium untuk memberikan social pressure atas berbagai persoalan bangsa saat ini, entah itu kritik terhadap lemahnya sistem negara maupun segala bentuk ketidakadilan lainnya.

Namun demikian kritisisme di kalangan universitas Islam yang diharapkan pada kenyataannya tidak terwujud sempurna. Justru kritisisme ini memudar, seiring dengan banyaknya individu-individu yang berpikir taqlid (cara berpikir kaku yang dogmatis). Alih-alih kritisisme, yang terjadi kemudian adalah semangat untuk melawan ketidakadilan dengan cara menjadi bagian dari sebuah kelompok radikal yang menawarkan perubahan sebagai bagian dari tujuan politiknya meskipun harus melalui jalan kekerasan. Pepi Fernando, Fajar Firdaus, Afham Ramadhan dan Sonny Jayadi, tiga serangkai dari UIN, adalah contoh nyata minusnya critical thinking.

Untuk menghindari hal tersebut, universitas hendaknya kembali mengembangkan budaya kritis secara stimultan. Juga mengedepankan tabayyun (verifikasi) yang utuh atas derasnya informasi yang bersliweran. Berpikir kritis tidak hanya dalam kerangka mencari jawaban atas segala masalah sosial, politik dan ketidakadilan namun juga untuk mengkritisi tawaran jawaban yang datang dari kelompok radikal tertentu sehingga tidak terjebak pada pola pikir perlawanan yang menggunakan kekerasan sebagai instrument mencapai jalan keluar. Universitas adalah wadah generasi masa depan dilahirkan. Critical thinking adalah bekal yang tepat bagi generasi muda untuk menghadapi masa depan yang complicated.

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved