Tindakan Represif dan Avatar Jihad Bom di Indonesia

Sebaliknya, Indonesia, berkat kerja keras polisi yang siap menghadapi kematian dalam bertugas itu, berhasil menangkap, menyidangkan, dan memenjarakan tidak kurang dari 452 pelaku. Tiga pelaku utama bom Bali I -Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron- pun telah dieksekusi mati. Dengan fenomena tersebut, sangatlah wajar masyarakat berkesimpulan bahwa jaringan gerakan mereka telah hancur berantakaan. Dengan begitu, ancaman akan tindak terorisme akan menurun secara signifikan.

Namun, benarkah demikian? Aksi jihad bom 17 Juli di Jakarta tahun lalu, penangkapan puluhan anggota jaringan ini di Aceh, penembakan mati terhadap tersangka teroris Dulmatin (9/3/2010) di sebuah warnet di Pamulang dan Enceng Kurnia alias Arham serta Kang Jaja di Aceh (12/3/2010) menunjukkan bahwa gerakan jihad bom para ikhwan itu seakan “mati satu, tumbuh seribu”.

Mengapa itu bisa terjadi? Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya teringat sebuah pesan pendek dari mantan tahanan pidana terorisme kepada saya yang hanya berselang beberapa jam setelah Kapolri mengumumkan kematian Dulmatin. Isi pesan itu adalah “Sampaikan, Al Qaeda is future. (masa depan) Kematian tak menghentikan jihad, karena jihad tak tergantung pada personal”.

Menurut hemat saya, pesan pendek itu dapat dibaca sebagai peringatan bagi para penegak hukum bahwa pendekatan legal formal cenderung bertumpu pada kredo “who does what (siapa melakukan apa) telah gagal mengurai permasalahan terorisme secara tuntas. Suka tidak suka, sebagian kelompok masyarakat kita percaya bahwa pendekatan itu cenderung bersifat represif, terkesan kejar setoran, berbau pesanan pihak asing, dan sering mengabaikan asas praduga tidak bersalah.

Akibatnya, tumbuh suburlah teori konspirasi di masyarakat yang cenderung malas melakukan verifikasi dan tidak berempati pada korban (sebagian adalah muslim). Dengan demikian, mereka sering mengatakan bahwa terorisme itu adalah sebuah proyek bersama; teroris dapat nama, polisi dapat dana, dan wartawan dapat berita.

Berdasar pengakuan para ikhwan kepada saya, peristiwa pengeboman pertama di Bali itu telah mengakibatkan perbedaan pandangan ideologis antaranggota kelompok Al Jama’ah Al Islamiyah. Sebenarnya, mayoritas anggota kelompok itu tidak sepakat soal aksi jihad bom tersebut. Bahkan, dalam perkembanganya, beberapa di antara mereka justru berbalik dan akhirnya bekerja sama dengan polisi mengungkap jaringan mereka sendiri. Namun, memang ada sebagian kelompok kecil saja yang setuju soal jihad bom itu. Mereka siap diaktifkan kapan saja.

Nah, tindakan represif dari aparat itu bukan tidak mungkin membuat mereka yang pada awalnya tidak setuju dengan aksi jihad bom itu kemudian terpanggil untuk turun gunung dan bangkit membela “ikhwan” mereka yang terzalimi. “Mereka, para polisi itu, telah menampakkan kebencian kepada kami, para mujahidin.” Demikian tutur seorang ikhwan kepada saya.

Fenomena kristalisasi dukungan itu dapat saya lihat dan rasakan ketika saya hadir dalam pemakaman Amrozi, Ali Ghurfon, dan pemakaman Dulmatin baru-baru ini. Betapa antusias dan melimpahnya para pelayat yang memberikan doa dan penghormatan terakhir kepada korban.

Akhirnya, mereka yang secara lahiriah telah mati itu berubah menjadi “avatar” jihad yang rekam jejak dan suara mereka dari dalam kuburan akan terdengar lebih lantang.

Penilaian negatif dan kecurigaan terhadap kerja aparat perlu segera dicarikan solusi. Apabila dibiarkan, hubungan aparat dengan sebagian umat Islam akan semakin meruncing. Padahal, adalah tugas seluruh komponen bangsa, baik aparat maupun masyarakat, termasuk umat Islam, mewujudkan perdamaian.

Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi negara untuk melakukan pendekatan komprehensif dalam penyelesaian kasus terorisme itu. Pendekatan tersebut mengandaikan pendekatan psyco-sosio-antropologis yang berusaha menjawab pertanyaan “why” (mengapa) terorisme itu muncul dan how (bagaimana) kita menghadapinya. Jelas pendekatan tersebut tidak bisa dijalankan oleh polisi saja. Apalagi polisi selama ini lebih bergerak pada wilayah “combating” (penyerangan) terhadap para tersangka teroris. Karena itu, sangatlah sulit bagi mereka memainkan peran yang justru sebaliknya, yaitu merangkul para “ikhwan” itu.

Saya kira, komponen seperti ormas Islam, Kementerian Sosial, lembaga pemasyarakatan, majelis ulama, tokoh masyarakat setempat, bank dan lembaga keuangan lain dapat menjadi pilar penting untuk melaksanakan tugas itu. Lembaga pendidikan ataupun LSM dapat melakukan riset untuk memahami dua hal penting, yaitu dinamika kelompok dan dinamika individu dari mantan tahanan teroris setelah masa tahanan (post detention).

Dalam proses itu, saya memahami bahwa pengalamanlah yang membentuk pikiran mereka, bukan sebaliknya. Ide tentang perlawanan kekerasan dihasilkan dari pengalaman di medan perang atau wilayah konflik seperti Ambon dan Poso, ketika kontradiksi terjadi antara “kami” dan “mereka”, “kawan” dan “lawan”, serta pilihan yang tersedia adalah membunuh atau terbunuh. Oleh sebab itu, anggota-anggota jaringan tersebut harus diintroduksi pada pengalaman yang berbeda. Bukan medan perang, melainkan lingkungan sosial tempat manusia dapat berinteraksi secara terbuka dan inklusif. Melalui pengalaman baru itu, mereka bisa mendapatkan pemahaman bahwa nonmuslim bukan musuh dan muslim yang berbeda pandangan dengan mereka bukanlah thoghut. Wallahu’alamu bi showab. (kum)

Noor Huda Ismail adalah Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian yang membantu rehabilitasi eks kombatan.

Alumni Pesantren Al Mukmin Ngruki dan menyelesaikan S2 di bidang keamanan international di St Andrews University, Scotland.

JAWA POS [ Senin, 15 Maret 2010 ]

Copyright © 2018 Yayasan Prasasti Perdamaian. All Rights Reserved