TRIBUNJOGJA.COM – Yusuf pun juga memasuki fase baru dari sisi ideologi ketika ia dipertemukan dengan korban-korban aksi bom di Indonesia. Pertama kali ia bertemu Febby Firmansyah (35), korban bom JW Marriot Jakarta.
Bukan di Indonesia, tapi di Dublin, Irlandia Utara dalam sebuah konferensi, Summit Against Violence Extrimism (SAVE) yang diselenggarakan Google.
Saat itu Yusuf diajak Noor Huda Ismail, dan bersama mereka turut pula Sofwan dan Ali Fauzi, keduanya eks napi terorisme dan veteran konflik Mindanao maupun Poso. “Mas Yusuf dan Mas Ali Fauzi memeluk saya seakan akan tidak pernah ada kejadian yang saya alami,” aku Febby.
Pertemuan di Dublin itu diakui Yusuf. Momen berikutnya terjadi baru saja. Tanggal 4 September 2012, Yusuf menjamu keluarga korban bom Bali I, yaitu keluarga Eka Laksmi. Suami perempuan beranak dua itu tewas dalam aksi yang dilakukan Imam Samudera dkk.
Pertemuan itu juga atas fasilitas Noor Huda Ismail, yang mengenal Laksmi ketika ia meliput tragedi itu pada 2002. “Apapun saya terima. Disalahkan pun saya siap. Saya tidak bisa bilang dia korban Bali, lalu saya tidak mau bertemu,” kata Yusuf menceritakan perasaannya sebelum pertemuan.
Akhirnya, setelah Eka Laksmi dan dua anaknya tiba di Semarang, Yusuf mengajak mereka mengunjungi Masjid Demak, makam Sunan Kalijaga dan masjid Kudus. Di sana mereka belajar bersama bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui budaya.
“Saya tahu bagaimana efek kehilangan orang yang dicintai, dan yang kami lakukan adalah memberi kesan silaturahmi dan melakukan sebaik mungkin,” katanya. “Saya secara pribadi berpikir bagaimana bisa berbuat banyak untuk dia. Mbak Laksmi itu Muslim yang taat,” ucap Yusuf.
Bertemu korban aksi terorisme membuatnya semakin memikirkan ulang sisi operasi jihad. Ia tidak bisa menerima karena kenyataannya orang Muslim banyak jadi korban. Lain jika jihad itu sekalian bertempur langsung dengan musuh, semisal pasukan AS di kapal perang atau kapal induk di medan perang.
Berhadapan langsung dengan pasukan militer itulah yang diajarkan di medan pertempuran Moro, Filipina. “Ada satu cita-cita yang ingin saya lakukan, tapi belum bisa sampai sekarang yaitu berkunjung ke lingkungan saya dulu digerebek (rumah kontrakan di Jalan Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII/2),” katanya.
“Mereka trauma, dan saya belum sempat ke sana hingga sekarang. Suatu saat saya akan ke sana dengan roti saya, dan meminta maaf,” ucap Yusuf yang kini pintar membuat roti. Ketua Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan, proses mempertemukan Eka Laksmi dengan Yusuf bukan proses tiba-tiba.
Ia kenal Eka Laksmi ketika bertugas sebagai jurnalis media asing saat meliput peristiwa bom Bali I. Setelah itu terjalin hubungan baik dengannya.
“Saya kan lulusan Ngruki, jadi waktu itu dia juga trauma dengan semua lulusan Ngruki karena Mukhlas (pelaku) juga Ngruki. Nah, Minggu lalu Mbak Eka menyatakan ingin ke Semarang untuk liburan dan belajar bisnis resto. Maka terjadilah pertemuan itu dengan Yusuf. Itu terjadi setelah 10 tahun ” ucapnya.
“Kenapa saya mempertemukan? Karena itu penting mempertemukan korban dan pelaku untuk memangkas lingkaran dendam,” ucapnya. Ia berharap di masa mendatang ia ingin antara korban dan mantan pelaku bisa duduk bersama dan mengajak pemberantasan terorisme bersama. (Bakti Buwono/tribunjogja.com)
Sumber: jogja.tribunnews.com