Radikalisme keagamaan bisa hadir dalam genggaman melalui media sosial. Demikian pesan yang ingin disampaikan dalam “Nonton Bareng dan Diskusi film Jihad Selfie” di Auditorium Nuswantara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya (FISIP UB), Rabu (21/3) lalu. Acara ini dihelat oleh Jurusan Politik, Pemerintahan, dan Hubungan Internasional (PPHI) bekerja sama dengan Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB.
Kegiatan ini merupakan bentuk peringatan Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia pada 21 Maret 1966 yang dimotori oleh penembakan rezim apartheid Afrika Selatan saat demonstran warga kulit hitam memprotes hukum yang rasis dan penuh diskriminasi terhadap mereka pada 21 Maret 1960.
Yusli Effendi, Sekretaris Jurusan PPHI FISIP sekaligus Ketua Penyelenggara dan moderator acara menyatakan bahwa kelompok terorisme juga bersikap diskriminatif. “Kini kelompok teror seperti ISIS juga bersikap diskriminatif dan meniadakan terhadap warga non-muslim dan bahkan terhadap sesama muslim namun berbeda pemahaman dengan mereka”, ujarnya.
Setelah nonton bareng film, acara ini dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan M. Rizki Maulana dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) Jakarta yang menjadi lembaga produksi film Jihad Selfie dan Wahyuni Widyaningsih, aktifis perempuan dari Center for Marginalized Communities Studies (Cmars) dan Jaringan Gus Durian Nasional. Acara ini diikuti oleh sivitas UB dari berbagai fakultas, peneliti Litbang Kemenag RI dan khalayak umum.
Rizki Maulana menekankan bahwa film in dibuat sebagai kampanye anti-radikalisme karena orang Indonesia enggan membaca buku dan melakukan kajian. Film yang disutradarai Noor Huda Islami ini merupakan film dokumenter yang merekam perjalanan pelajar Indonesia asal Aceh, Tengku Akbar Maulana. Akbar yang mendapat beasiswa di sekolah keagamaan Imam Hatib di Turki lantas ingin bergabung dengan ISIS di Suriah setelah tergoda temannya yang terlihat jantan dan keren karena berpose membawa senapan AK 47 di situs jejaring sosial Facebook.
Melalui film ini, Widyaningsih menyatakan peranan keluarga. “Keluarga berperan sebagai benteng meredam paparan radikalisme, biasanya menyasar pemuda yang sedang mencari jati diri”, ujarnya. Sedangkan Dr Mohamad Anas, selaku Ketua PSP2M juga menyatakan tentang peranan PSP2M di masyarakat. “Kami di Pusat Studi Pesantren juga ambil bagian dalam menangkal radikalisme keagamaan pemuda melalui pendidikan literasi media dan agama melalui progam Muslim Leader Camp yang kami adakan”, pungkasnya.[yusli/vicky]