JAKARTA (Suara Karya): Aparat Brimob Mabes Polri dan Polda Sulawesi Tengah berhasil menangkap seorang terduga teroris usai baku tembak di Pegunungan Koroncopu, Desa Tambarana, Sulawesi Tengah, Rabu (12/12) petang.
Menurut Kapolda Sulteng Brigjen Pol Dewa Parsana, satu orang yang ditangkap berinisial S, dan kini masih dalam pemeriksaan intensif petugas. Pelaku diduga kuat anggota kelompok sipil bersenjata ketika hendak digerebek di daerah Pegunungan Karoncopu.
Lahan Pegunungan Koroncopu, Tambarana, Poso diduga sebagai lokasi pelatihan kelompok teroris. Polisi menggerebek sebuah pondok di wilayah itu, Rabu (12/12), sekitar pukul 17.00 WIT saat aparat menggelar patroli menyusuri pegunungan itu sejak pukul 10.30 WIT.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Boy Rafli Amar menambahkan, saat patroli, aparat mencurigai adanya kegiatan sekelompok orang yang tengah membuka lahan. Lalu dilakukan pengintaian.
“Setelah diintai, ternyata di antara warga ini (ada yang) memiliki senjata api,” kata Boy di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (13/12).
Boy menjelaskan, aktivitas sekelompok orang itu dilakukan di atas lahan milik seorang warga setempat, Muhrin. Namun, Muhrin tidak tahu jika pondok dan lahan yang tengah digarap orang-orang itu akan digunakan sebagai tempat pelatihan teroris.
Saat penggerebekan, menurut Boy, sempat terjadi baku tembak antara aparat dan kelompok teroris yang jumlahnya sekitar 20 orang. Namun, Kapolda Sulteng menyebut angka berbeda, yakni jumlahnya sekitar 5 orang.
Sayangnya, menurut Boy, sebagian besar dari kelompok itu berhasil melarikan diri ke hutan, dan hanya satu orang yang berhasil ditangkap.
“Yang ditangkap berinisial SA. Dia warga dari Nusa Tenggara Barat. Polisi juga mengamankan dua pucuk senjata api berupa pistol revolver dan FN,” kata Boy.
SA, menurut Boy, diduga merupakan anggota jaringan Santoso, teroris yang selama ini diburu aparat. SA juga bertugas merekrut dan melatih teroris ke Poso. “Sampai saat ini masih didalami apakah ada aksi perencanaan teror di Poso dari kelompok ini,” kata Boy.
Terkait dengan terorisme, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sangat penting sebagai syarat kelayakan dalam melakukan transaksi keuangan internasional.
“Kalau kita tidak memiliki undang-undang ini pada saat dilakukan review pada 2013, maka akan menurunkan standar kelayakan bertransaksi kita,” kata Menkeu.
Menkeu menjelaskan, Indonesia merupakan salah satu dari dua negara anggota G-20 yang belum memiliki aturan terkait pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Padahal, dengan ketiadaan aturan tersebut, maka financial action task force yang diakui G-20, dapat memberikan penilaian non cooperative jurisdiction country kepada Indonesia.
“Di negara G-20 semua punya UU pencegahan dan pemberantasan pembiayaan terorisme. Kalau kita tidak punya, dan diturunkan, kita bisa disamakan dengan negara yang dianggap tidak layak bertransaksi internasional,” ujarnya.
Sementara itu, sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta Argyo Demartoto mengatakan, karakteristik masyarakat perkotaan yang sarat akan individualitas berpotensi memunculkan celah bagi aksi terorisme.
“Karakteristik masyarakat perkotaan yang berpotensi menumbuhkan penyakit sosial, seperti ketidakpedulian dan egoisme pada akhirnya memberi celah teroris melakukan aksinya,” kata Argyo dalam Seminar Pengaruh Terorisme bagi Ketahanan Masyarakat Kota Dalam Kajian Sosiologi di Solo, Kamis.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menilai pandangan analis mengenai Solo sebagai basis radikalisme memang didukung dengan banyak aspek.
Menurut dia, Solo dianggap mempunyai peran sebagai inkubator bagi kalangan muda yang berpola pikir being radical is fine. Dan, Kota Solo dianggap sebagai “wilayah aman” kelompok terorisme karena secara sosial politik mendapat dukungan dari masyarakat.
Di tempat terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siradj mengajak masyarakat, khususnya umat Islam, untuk menjadikan terorisme sebagai musuh bersama.
“Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain,” katanya di Purwokerto, Rabu malam. (Antara/Hanif S)
Sumber: www.suarakarya-online.com