Polri harus ubah pola penanganan teroris

Minggu, 2 September 2012
M Nazaruddin Latief – Koran Sindo

Peneliti dari Yayasan Prasasti Perdamaian , Taufik Andrie menilai, Polri harus mengubah pola penanganan teroris dengan mendekati ulama internal dalam organisasi garis keras.

Tindakan tegas yang dilakukan Densus 88 terhadap sejumlah tersangka teroris hanya akan memicu aksi balas dendam dari kelompok garis keras. Polisi menembak mati terduga teroris, teroris menembak mati polisi, begitu seterusnya kejadian saling balas ini akan terus berulang.

“Dalam siklus berantai, jika tak dihentikan, perlu puluhan tahun menyelesaikan masalah terorisme. Karena siapapun pimpinan polisinya dan siapapun pemimpin kelompok garis keras itu, akan mengulang dan meneruskan lingkaran kekerasan tersebut,” ujarnya, Sabtu 1 September 2012.

Polisi seharusnya mengubah pola penanganan, dengan meyakinkan jaringan tersebut bahwa polisi dan pemerintah Indonesia bukan musuh mereka. Energi yang ada harusnya diarahkan untuk musuh yang relevan dengan ideologi mereka.

Langkah ini, menurut Taufik membutuhkan kampanye internal yang dilakukan oleh jaringan mereka sendiri. Tugas pemerintah dan polisi adalah merangkul mubaligh internal dalam organisasi untuk bisa mengkampanyekan hal tersebut.

“Sudah ada jamaah atau kelompok jihad yang menyatakan menggunakan dakwah terbuka tanpa kekerasan. Kelompok ini harus dirangkul untuk membina faksi-faksi pecahan yang sulit dikendalikan,” ujarnya.

Aksi kekerasan belakangan ini menurut Taufik dilakukan oleh kelompok pecahan dari organisasi induk terdahulu. Ciri mereka yang menonjol adalah kecil, militan, terlatih.

Tidak memerlukan dana besar, tidak perlu komandan lapangan yang berpengalaman atau ahli merakit bahan peledak. Rencana aksi mereka juga sederhana dengan target yang jelas yaitu thagut (tentara setan) yang direpresentasikan oleh polisi.

Kelompok ini sebenarnya, respon atas perubahan strategi perjuangan major group yang dalam beberapa tahun terakhir menyatakan tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan.

Namun sayangnya, major group ini tidak bisa mengendalikan faksi radikal dalam tubuh organisasi, sehingga munculah kelompok kecil yang berjuang sendiri, tanpa kepemimpinan, dan dukungan.

Misi mereka selain untuk qishas (membalas dendam) kematian orang-orang yang dianggap mujahid, mereka juga ingin menunjukan konsitensi akan jalan perjuangan yang mereka pilih pada organisasi induknya.

“Ini semacam pesan untuk kelompok jihad lain bahwa jihad itu harus seperti ini, melakukan amaliyat yang konkret. Bukan berdakwah berbusa-busa dan melupakan amaliyat,”ujarnya.

Related articles