Kota besar memiliki peluang paling besar menjadi target bagi kelompok teroris.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen Marciano Norman menyatakan pemerintah siap menghadapi kemungkinan serangan balasan dari kelompok teroris yang disergap di Solo, Jawa Tengah (Jateng). Keberhasilan penyergapan Densus 88 Anti-Teror di Solo akhir pekan lalu bukan berarti persoalan ancaman aksi teror telah tuntas.
“Jika kita sudah mendapatkan pelaku, kita juga harus siap menghadapi teroris-teroris lainnya. Dengan kemarin di Solo, maka tidak berarti selesai di situ, apabila petugas lengah. Perhitungan membalas itu pasti ada,” kata dia, Senin (3/9).
Marciano menambakan Polri diyakini telah bersiap untuk lebih waspada. Namun demikian, lanjut dia, aparat TNI dipastikan juga siap memberikan bantuan dalam perkembangan situasi saat ini.
Kota Besar Jadi Target
Dalam kesempatan itu, Marciano meminta kepada masyarakat di kota besar untuk selalu waspada terhadap bahaya terorisme. Pasalnya, diungkapnya, kota besar memiliki peluang paling besar menjadi target bagi kelompok teroris.
“Di kota besar, peluang mencari target lebih mudah. Menarik perhatian luar negeri masih tinggi. Orang lain bisa menangkap eksistensi kelompok ini masih ada,” papar Kepala BIN
Oleh karena itu, lanjut Marciano, BIN sendiri terus menindaklanjuti dan mengembangkan informasi yang didapat, untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi dan mencegah aksi terorisme secara dini. Peran masyarakat dalam pencegahan menurutnya juga penting, sehingga masyarakat diminta untuk bisa melaporkan segala kejanggalan terkait perilaku seseorang di tengah masyarakat.
Aksi Balas Dendam
Sementara itu, Pengamat Terorisme Noor Huda Ismail mengungkapkan alasan motif terorisme kini menjadikan polisi sebagai target lantaran aparat kepolisian kerap menghalangi keinginan mereka untuk mendirikan negara Islam. Serangan teror terhadap polisi pertama kali terjadi 2005.
“Penyerangan terhadap polisi sudah terjadi sejak tahun 2005 dengan pelaku Asep Jaja. Ia menyerang pos di Ambon dan Yulis Hartono yang menyerang pos polisi di Purworejo,” kata Noor, di Semarang, Senin (3/9).
Menurut Noor, aksi serangkan ke polisi ini juga sebagai bentuk balas dendam. Ditambahkannya, sejak Bom Bali I pada tahun 2002 sedikitnya 55 terduga teroris telah meregang nyawa ditembak polisi.
“Kondisi tersebut memunculkan upaya balas dendam atau qiqosh di lingkungan keluarga, sanak saudara, dan rekan korban untuk melakukan aksi terorisme kembali,” tandas dia.
Sumber: beritasatu.com