Deradikalisasi yang belum Tepat Sasaran

Indonesia sejak 2000 dikejutkan oleh rentetan aksi peledakan bom.

Gerakan ini makin massif setelah World Trade Center di New York dihancurkan lewat aksi terorisme pada 9/11 setahun kemudian. Tidak mengherankan, dunia menyoroti Indonesia sebagai sarang gembong teroris dan menjadi ladang subur bagi pelaku terorisme dari negeri jiran seperti Malaysia dan Filipina.

Meski satu per satu jaringan terorisme di Nusantara sudah dilumpuhkan dari kelompok Imam Samudra cs hingga gembong terorisme Asia Tenggara dr Azahari dari Malaysia, kelompok ini masih bergerak secara klandestin.

Apakah sebenarnya yang menjadi persoalan kunci kegagalan selama ini terkait upaya penumpasan para pelaku aksi teror hingga akar-akarnya? Salah satu relawan yang bergerak di jalur “deradikalisasi” teroris adalah Noor Huda Ismail bertutur banyak tentang hal itu.

Dia yang kini menjabat sebagai Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) lahir di Jogja dan besar di Solo hingga remaja dan menjadi santri selama enam tahun di Pondok Pesantren Al Mukmin.

Selepas dari Ngruki, ia melanjutkan studi di Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Seusai lulus, ia bekerja di Jakarta sempat meniti karier sebagai Public Relations dan wartawan koran The Washington Post biro Asia Tenggara.

Noor Huda tergerak membantun para mantan terorime atau jebolan dari Afganistan setelah teman sekamarnya terlibat Bom Bali tahun 2002. Di Yayasan Prasasti Perdamaian, dia menjadi pendengar yang baik dari para mantan mujahid yang pulang dari Afghanistan yang beberapa di antara mereka terlibat dalam terorisme di Indonesia.

Mereka datang sendiri kepada Huda, bukan dirinya yang mencari mereka. Namun, dia sering dituding macam-macam. “Misi YPP adalah untuk melakukan pendampingan dan mendorong proses disengagement bagi mantan teroris dan mantan combatan agar tidak kembali pada jalan kekerasan,” ujar Noor Huda yang ditemui Beritasatu.com, akhir pekan lalu. .

Huda menerangkan, pihaknya tidak memakai term deradikalisasi untuk membina para mujahid atau mantan narapidana terorisme,

“Kami lebih sepakat dan concern dengan term disengagament, karena kami melihat perlunya kesadaran individu dalam melepaskan diri (disengaged) dari mindset dan perilaku kekerasan,” tuturnya. .

Dijelaskan, istilah deradikalisasi relatif kontraproduktif, karena menjadi radikal, berpikir radikal, berpikir kritis pada dasarnya bagus.

“Justru menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan bagi pemikiran radikal, itulah yang tidak bagus,” tukasnya.

Upaya yang YPP lakukan adalah memberi trust pada mereka untuk menentukan sendiri “jalan baru” bagi kehidupan mantan narapidana teroris tersebut di masa depan.

Apa jalan baru tersebut? Menurut Huda, jalan yang membuka dinamika berpikir, menciptakan mindset non-violence dan berpikir kritis dan reflektif (dan evaluatif) atas apa yang telah mereka (mantan narapidana teroris) lakukan selama ini.

“Kami di YPP tidak mengarahkan langkah, mereka memilih sendiri mau kemana mereka akan langkah.”

Pendekatan dengan para mantan teroris ini, kata Huda, tidak melulu dengan agama bisa melalui olahraga atau kuliner. “Minggu depan, kami akan mengajar masak para istri-istri mereka.”

Soal dana pemberdayaan, Huda mengaku tidak banyak, tidak besar juga. Seperti misalnya dalam upaya pemberdayaan ekonomi dalam bentuk usaha warung makan.

Konsep dana di YPP disini hanya pemantik saja, bisnis kecil yang mereka kelola bersifat less capital more inovation (modal kecil besar inovasi).

“Jadi, bukan modalnya yang utama. Tapi bagaimana mereka belajar manajemen, inovasi bisnis, akuntansi, sampai pada kemampuan untuk membuka cabang baru dan merekrut rekan-rekan mereka sendiri, para mantan narapidana lain.”

Manfaat dari program di YPP jelas. Dijelaskan Huda, mereka mempunyai kehidupan baru after prison.

“Ada kemandirian hidup, ada ruang interaksi dan sosialisasi dengan kalangan masyarakat yang luas. Mereka terjaga dari stigma mantan teroris. Mereka warga masyarakat yang berdaya dan berani meninggalkan kekerasan.”

Satu hal perlu diingat, kata Huda, mantan narapidana teroris selalu punya resistensi terhadap negara/pemerintah, ketika ada inisiatif dari organisasi non-negara, mereka membuka diri dan aktif mencari informasi dan bergabung atas kehendak mereka sendiri.
“Tanpa paksaan, tanpa tekanan.”

Sejauh ini, YPP masih membina secara langsung lima mantan narapidana terorisme.
“Tapi yang sudah lulus ada sekitar 10-an. Sekarang mulai lagi ke beberapa penjara, termasuk yang di Semarang.” Mereka utamanya berasal dari kasus Aceh.

Pendekatan sepihak

Bagi mantan narapidana teroris Yusuf Adirama, deradikalikasi yang dilakukan oleh pemerintah gagal karena pendekatannya hanya sepihak. “Dimana banyak aspirasi yang belum menemukan solusi. Bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga soal pendidikan.”

Yusuf menambahkan, banyak mantan pelaku terorisme terjerumus lagi karena pemerintah tidak melakukan tindakan yang adil. Misalnya, overload dalam memberikan hukuman dan tidak sesuai dengan kapasitasnya, sehingga mereka senantiasa kembali melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Wajar, pilihan bergabung dalam LSM atau aktivitas bisnis dinilai lebih nyaman bagi eks narapidana dan para mujahid Afganistan/Pakistan.

Di samping YPP, lembaga yang aktif menggarap mantan narapidana terorisme maupun menyebarkan counter ideology terorisme/radikalisme agama adalah Lazuardi Birru.

LSM ini diinisiasi oleh sejumlah mantan pelaku seperti Nasir Abbas, eks Mantiqi 3 JI. Mantan Kepala Densus 88 Surya Darma juga mendukung kegiatan Lazuardi Birru.

Program Lazuardi Birru membuat analisis dan pemetaan jaringan terorisme.
Tahun lalu mereka menerbitkan buku berjudul Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, yang cukup menuai kontroversi karena menuding situs voa-islam dan arrahmah sebagai situs penyebar radikalisme agama.

Terbitan komik soal bom Bali 1 dan kisah hidup Nasir Abbas juga diterbitkan sebagai pegangan guru atau pendidik di sekolah dasar-menengah.

Penulis: Dhana Kencana/ Kristantyo Wisnubroto

Related articles