Newsletter Februari 2012

Melihat Persidangan Teroris “kecil” Bima

By Aditya Megantara

Anak dibawah umur disidang secara in absentia di Pengadilan Negeri Tangerang. Ia didakwa terlibat tindakan terorisme bersama enam pemuda. Perlukah perlakuan yang sama untuknya?

Pada 11 Januari 2012 Pengadilan Negeri Tangerang menggelar sidang perdana perkara terorisme yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab (UBK), Bima, Nusa Tenggara Barat. Mustakim Abdullah alias Mustakim, seorang murid kelas III SMP 02 Dompu didakwa terlibat tindakan teror bersama dengan keenam terdakwa lainnya yang berumur antara 19 – 36 tahun yaitu Abrory, Sa’ban Umar, Rahmad Ibnu Umar, Asrak, Rahmat Hidayat, dan Furqon. Mustakim ditangkap pada 12 Juli 2011 dan menjadi tersangka kasus terorisme pada 19 Juli 2011. Mustakim yang masih dibawah umur tidak dihadirkan di Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana keenam terdakwa lainnya.

Di Pengadilan Negeri Tangerang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lalu Rudi Gunawan menyebutkan bahwa keterlibatan Mustakim dimulai saat ia membeli korek api dengan jumlah banyak atas permintaan Abrory, yang merupakan guru mengajinya di Pesantren UBK. Setelah sampai di Pesantren UBK lagi, ia lalu menggerusnya. Hasil gerusan korek api ini yang selanjutnya digunakan sebagai amunisi pada bom rakitan yang kemudian menewaskan Firdaus alias Suryanto Abdullah, kakak Mustakim yang merupakan perakit bom rakitan. Mustakim kemudian menyembunyikan keberadaan jenazah Firdaus, yang semasa hidupnya menjabat sebagai bendahara pesantren UBK.

JPU menuntut 1,5 tahun penjara dengan mendakwa Mustakim dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme pasal 13 huruf c, dikarenakan ia terbukti secara sah dan meyakinkan telah memberikan bantuan terorisme dan menyembunyikan informasi tentang keberadaan jenazah Firdaus. Pada 8 Februari 2012 Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada Mustakim.

Cepatnya proses persidangan Mustakim menurut JPU merupakan hak setiap terdakwa untuk segera mendapatkan proses pemeriksaan dan pengadilan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 (1) sampai dengan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa sebagai terdakwa berhak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada Penuntut Umum, kemudian perkaranya untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut Umum, dan untuk segera diadili oleh pengadilan. Bertentangan dengan JPU, Tim Pembela Muslim (TPM), yang menjadi penasihat hukum Mustakim, tidak sepakat dengan penetapan Mustakim sebagai terdakwa teroris di Pengadilan Negeri Tangerang. TPM menyatakan bahwa undang-undang yang digunakan tidak tepat, seharusnya menggunakan Undang-Undang Pengadilan Anak. Seperti yang tercantum pada pasal 7 (1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.

Hal lain yang tidak disepakati oleh TPM dalam kasus Mustakim adalah pengategorian teroris terhadap terdakwa anak. Tindakan Mustakim merupakan kepatuhan seorang anak atas perintah orang yang lebih dewasa, dalam hal ini guru mengajinya, Abrory. Berdasarkan informasi Darmansyah, sepupu Mustakim yang selalu menemaninya selama pemeriksaan, Mustakim tidak mengetahui mengenai bom, bahkan dia dipaksa oleh Abrory dan diancam akan dipukul dengan pedang jika tidak menjalankan perintahnya untuk membeli korek api. Dengan demikian, Abrory memanfaatkan kekuasaannya selaku orang yang lebih dewasa untuk mempengaruhi, menyuruh atau melibatkan anak yaitu Mustakim dalam suatu tindak pidana terorisme. Tidak tepat kiranya, jika kemudian Mustakim diposisikan sama dengan pelaku teroris yang dewasa.
Pengadilan Mustakim di PN Tangerang dapat memberikan legitimasi penjeratan hukum yang sama terhadap setiap anak yang terlibat dalam tindakan terorisme. Kejahatan yang mereka lakukan akan disederajatkan dengan pelaku kejahatan teroris orang dewasa. Penyamarataan ini akan menimbulkan efek samping. ‘Pelabelan’ anak yang terlibat dalam tindakan teroris sebagai teroris, sama seperti ‘senior-senior’ nya akan mengakibatkan beban psikologis tersendiri. Pada kalangan teroris, dia kemudian akan naik ‘kasta’ karena meski perannya sangat kecil, namun telah dihukum ‘sama’ dengan pelaku yang memiliki peran lebih besar.

Di sisi lain, stigmatisasi masyarakat yang menganggap si anak sebagai teroris akan dihadapi oleh si anak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), bahkan di sekolahpun anak tersebut mungkin akan sulit diterima kembali. Sikap diskriminatif yang dialaminya secara terus menerus dapat membuat trauma tersendiri dan dapat berujung pada sikap keyakinannya yang melegitimasi tindakan kekerasan yang waktu itu dituduhkan kepadanya. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa penyamarataan proses pengadilan pidana teroris bagi terdakwa anak akan menimbulkan dampak negatif yang memungkinkan berkembangnya tingkah laku ‘radikal’ (dukungan terhadap perilaku kekerasan), sehingga fungsi hukum untuk menimbulkan efek jera bagi tertuduh anak tidak akan tercapai.

Kurangnya perhatian terhadap dampak psikologis yang akan berpengaruh pada kehidupan anak yang terkait dalam kasus terorisme, menunjukkan masih kurang siapnya lembaga penegakan hukum dan peradilan dalam menangani kasus teroris dibawah umur. Dimulai dari penyidikan hingga digelar pengadilan, banyak hal yang tidak seharusnya dijalankan untuk Mustakim. Seperti pada saat penyidik menjalankan rekonstruksi untuk membuat berita acara selama proses penyidikan, yang tercantum dalam KUHAP pasal 75, Mustakim harus melakukannya bersama dengan tersangka lainnya dalam satu tempat dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan Undang Undang tentang Pengadilan Anak pasal 42 (3) yang menitikberatkan pada kerahasiaan dalam proses penyidikan.

Penggunaan Undang Undang Anti Terorisme terhadap Mustakim juga kurang tepat, terutama jika dilihat dari tingkat keterlibatannya dalam kasus teroris di Bima dan fakta usianya yang masih dibawah umur. Undang Undang Anti Terorisme hanya memiliki aturan penghukuman dalam bentuk hukuman penjara. Padahal pemberian efek jera tidak hanya dengan memasukkan seorang terdakwa, khusunya terdakwa anak ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Undang Undang Pengadilan Anak memberikan pilihan pidana lain yang bisa digunakan selain pidana penjara, antara lain pidana denda atau pidana pengawasan. Bahkan Undang Undang tersebut juga memasukkan hukuman selain pidana, yaitu berupa tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Walau bagaimanapun Mustakim yang tergolong anak-anak bukanlah teroris dewasa. Ia sama halnya seperti anak-anak lain yang mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara berbeda (khusus) oleh lembaga penegakan hukum dan peradilan. Penting juga untuk memperhatikan bentuk program pembinaan bagi anak dalam kasus terorisme baik di dalam Lapas maupun program paska masa hukumannya. Negera mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa hak-haknya sebagai terdakwa dan warga Negara di bawah umur tetap terpenuhi. Namun, jika lembaga pengadilan masih tetap memperlakukan anak sama seperti teroris lainnya untuk kasus-kasus yang serupa di masa depan, maka hal ini akan menambah panjang daftar kegagalan dari permasalahan terorisme dan kontra terorisme di Indonesia. Semoga saja tidak.

Pelajaran dari Konflik Berdarah Sunni vs Syiah

By Taufik Andrie

Konflik berdarah antara kelompok Syiah Houthi dan kelompok salafy (Sunni) di Dammaj, Yaman semakin memanas. Telah terjadi beberapa kasus penyerangan terhadap kelompok Syiah di Pasuruan dan Madura. Apakah ada keterkaitan dengan kejadian di Yaman dan akankah ini berdampak pada perubahan kondisi hubungan beragama Sunni Syiah di Indonesia?

Situasi di Yaman akibat perang antar kelompok Sunni versus Syiah mencapai titik didih pada akhir 2011 lalu. Ma’had Darul Hadist di Dammaj yang bermanhaj salafy, yang terletak di sebelah utara Sanaa, ibukota propinsi Yaman, dibombardir tembakan mortir dan roket oleh sekelompok militant Syiah Al Houthi (Syiah Houthi) yang berbasis di Yaman Utara. Serangan sejak November-Desember 2011 ini mengakibatkan 30 orang tewas, termasuk 2 orang Indonesia yang kebetulan menjadi santri pada ma’had (madrasah) tersebut. Kejadian ini merupakan serangan terhebat sejak pemberontakan Syiah (Houthi) dideklarasikan pertama kali pada tahun 2004 di Yaman. Kelompok Syiah Houthi, oleh pemerintah Yaman, dianggap sebagai kelompok pemberontak yang ingin mengambil alih tampuk pemerintahan dengan jalan kekerasan.

Peristiwa ini mendapat perhatian dan banyak diliput oleh situs-situs berita seperti voa-Islam.com, arrahmah,com, muslimdaily.net serta beberapa situs blogspot turut menyebarkan berita ini. Lebih jauh, muncul fatwa jihad untuk memerangi kelompok Syiah Houthi oleh syaikh Yahya al Hajouri, Imam Ma’had Darul Hadits di Yaman sebagai respon atas blokade dan serangan selama dua bulan berturut-turut tersebut. Situs Arrahmah.com bahkan mengabarkan bahwa salah satu pemimpin Al Qaeda Yaman, sheikh Nasser Al-Wahayshi memerintahkan untuk mengirim satu batalion pejuang Al Qaeda, untuk memerangi pemberontak Syiah Houthi yang telah menyerang markas salafy di Dammaj (Dari Al Qaeda untuk Semua, 16 Desember 2011). Perlawanan kelompok salafy mulai membuahkan hasil, pada Januari 2012 misalnya, situs voa-Islam.com mencatat kelompok salafy berhasil membunuh 22 Syiah Houthi di wilayah Sadaa, Yaman.

Peristiwa penyerangan terhadap kaum Syiah juga terjadi di Indonesia, tepatnya di Pasuruan dan Madura, Jawa Timur. Perselisihan antara kelompok Syiah dan Sunni di Pasuruan terjadi pada Februari 2011 lalu, saat pesantren Yayasan Pendidikan Islam (YAPI) Al Ma’hadul Islami diserang sekelompok orang yang disinyalir dari kelompok Sunni. Beberapa santri terluka. Beberapa penyerang menjalani pemeriksaan polisi, namun tidak begitu jelas apakah mereka diproses hukum dan dipenjarakan. Menurut Jalaludin Rahmat – ketua Dewan Syuro IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), organisasi payung penganut Syiah di Indonesia – ketegangan dan intimidasi di Pasuruan sudah berlangsung sejak tahun 2006. Padahal pesantren YAPI sendiri sudah berdiri di Pasuruan sejak 1980.

Peristiwa di Madura terjadi pada Desember 2011 di pesantren Misbahul Huda di Nankernang, Sampang. Sekelompok warga yang mengaku dari kelompok Sunni, menyerang dan membakar beberapa bangunan pesantren. Warga Syiah yang tinggal di dalam kompleks pesantren diminta keluar dari pesantren. Warga Syiah dipaksa mengungsi, diusir dari rumahnya sendiri. Menurut seorang pengurus pesantren, intimdasi ini tidak hanya berlangsung sekarang, namun sejak tahun 2004.

Peristiwa penyerangan terhadap kelompok Syiah oleh kelompok Sunni di Indonesia ini membawa dua pertanyaan penting. Pertama, akankah embrio konflik yang ada saat ini, akan menuju pada titik perseteruan berdarah antara Sunni vs Syiah seperti yang terjadi di Yaman dan beberapa negara lain di Timur Tengah dan kawasan Asia Selatan? Kedua, akankah muncul ‘dari kalangan Sunni di Indonesia , yang akan mengafirmasi fatwa perang terhadap Syiah seperti yang terjadi di Yaman? Mengingat, selama ini, belum pernah ada resolusi konflik yang paripurna untuk mengatasi ketegangan antara Sunni dan Syiah di Indonesia.

Jika melihat data penyerangan terhadap kelompok Syiah di Indonesia, maka peristiwa yang terjadi pada tahun 2011 adalah fase terburuk dari yang pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, misalnya pada 2004 dan 2006-2007. Pada periode itu intimidasi, penyerangan terhadap santri dan upaya-upaya menolak keberadaan pesantren Syiah sudah sering dilakukan oleh kelompok Sunni. Intimidasi ini seharusnya tidak menjadikan penyerangan frontal kelompok Sunni terhadap Syiah jika pemerintah mampu mengelola konflik dan melakukan penegakan hukum terhadap tindakan diskriminasi ini sejak awal. Sejauh ini memang belum tampak ada upaya serius penanganan berupa tindakan hukum terhadap pelaku penyerangan.

Kampanye perdamaian yang diusung oleh Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (Muhsin) yang diprakarsai oleh IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan DMI (Dewan Masjid Indonesia) pada April 2011 lalu (setelah serangan terhadap kelompok Syiah di Pasuruan), tampaknya cukup menggembirakan. Setidaknya hal ini dapat menunjukkan pada publik, bahwa ada dukungan dari kalangan dalam Sunni terhadap kelompok Syiah. Meski MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak merestui inisiatif dari IJABI dan DMI ini karena meragukan legitimasi DMI sebagai perwakilan dari kelompok Sunni di Indonesia. MUI sendiri cenderung mengafirmasi bahwa Syiah bukanlah korban diskriminasi – seperti tercantum dalam pemberitaan situs online eramuslim.com pada tanggal 3 Januari 2012 mengenai sikap MUI, yang justru menekankan Syiah sebagai kelompok sesat.

Namun eskalasi konflik Sunni Syiah untuk menjadi sebuah konflik berdarah terjadi di Indonesia sangatlah sulit, meski tidak dapat dikatakan tidak mungkin terjadi. Pertama, kelompok Syiah, sebagai minoritas, dalam sejarahnya tidak pernah punya kekuatan yang signifikan di Indonesia. Baik dalam aspek banyaknya penganut (anggota) maupun politik dan ekonomi. Jumlah penganut Syiah di Indonesia baru mencapai 3 juta orang. Hal ini menunjukkan kekuatan yang tidak setara dibandingkan dengan Sunni, sehingga kemungkinan konflik berhadap-hadapan sangat rendah. Berbeda konteksnya dengan perseteruan Sunni-Syiah yang terjadi di Afghanistan, Pakistan atau Iraq yang secara komposisi penganut kedua aliran tersebut hampir seimbang sehingga terbuka kesempatan untuk saling berbalas menyerang.

Kedua, kelompok Syiah lebih memilih untuk tidak melawan dengan frontal. Pada beberapa kasus, kelompok Syiah malah membiarkan penyerangan terhadap mereka terjadi tanpa perlawanan dalam bentuk apapun. Dalam konteks tertentu, strategi melawan kekerasan tidak dengan kekerasan ini efektif, dalam arti tidak memperpanjang masalah dan menyerahkan kasusnya pada mekanisme hukum.

Kampanye anti diskriminasi yang dikembangkan elemen masyarakat madani untuk membela hak-hak kebebasan beragama dan beribadah kelompok Syiah berjalan cukup baik. Terdapat dukungan dari JIAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi), lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Jawa Timur aktif mendampingi kelompok Syiah. Sayangnya, kepastian hukum dan perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mereka harapkan tidak kunjung datang dari pemerintah.

Mengenai “fatwa perang” melawan syiah, tampaknya sejauh ini belum ada fatwa resmi yang menyatakan dengan verbal bahwa perlu ada perang terhadap Syiah. Media-media Islam, terutama online media (seperti Arrahmah dan VOA-Islam) telah memberikan stigma negatif yang kuat mengenai kelompok Syiah. Kampanye tersebut dilengkapi dengan serangkaian argumentasi berbasis dalil-dalil keagamaan, dimana Syiah memenuhi 5 kriteria dari 10 kriteria kelompok sesat yang disusun oleh MUI sehingga tidak bisa menjadi bagian dari Islam.

Meskipun demikian, fatwa perang melawan Syiah belum pernah dinyatakan oleh tokoh kelompok keagamaan manapun baik dari tokoh seperti Abu Bakar Baasyir (pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid), Habib Rizieq Shihab (ketua Front Pembela Islam), ataupun dari Irfan S Awwas (ketua MMI). Sedangkan MUI sendiri masih diliputi keraguan untuk menyatakan bahwa Syiah adalah sesat. Hal ini dapat diartikan bahwa kadar perseteruan Sunni dan Syiah di Indonesia, masih dalam kategori terkontrol dan terlokalisir. Pada kondisi seperti ini merupakan peluang bagi pemerintah untuk segera melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar perlawanan terhadap kelompok Syiah ini tidak menjadi sebuah eskalasi konflik berdarah.

Di lain pihak, terdapat perkembangan menarik mengenai informasi bahwa kelompok Abu Umar – suatu kelompok kecil yang pada 2011 lalu ditangkap polisi karena kepemilikan senjata dan rencana serangan terhadap polisi – diduga akan melakukan serangan terhadap kelompok Syiah. Jika hal ini benar bahwa Syiah adalah musuh baru bagi kelompok-kelompok Sunni tertentu, seperti kelompok Abu Omar, maka fenomena ini akan jadi catatan baru, bahwa “perang” melawan Syiah memiliki potensi berkembang di Indonesia.

Related articles